90⁰ Digitalk: Kecanduan Digital dari Sudut Pandang Psikologi dan Sosial  

Yogyakarta, 25 Oktober 2018-Dunia digital dengan cepat menjadi candu akibat beberapa karakteristik yang dimilikinya, dan tidak dapat ditemui dalam interaksi dunia nyata. “Karakter invisibility misalnya, membuat masyarakat lebih memilih media digital sebagai sarana berinteraksi karena tidak perlu bertatapan langsung dengan lawan bicaranya,” ungkap Dr. Neila Ramdhani, M.Si., M.ED. dari Fakultas Psikologi yang mengisi sesi 90⁰ Digitalk bertajuk “Digital Addiction: It Steals Your Life”.

Center for Digital Society (CfDS) UGM menghadirkan dua akademisi untuk membahas adiksi digital, dalam Bertempat di Auditorium Mandiri FISIPOL UGM, Digitalk mengundang Dr. Neila Ramdhani, M.Si., M.ED. dari Fakultas Psikologi UGM serta Derajad S. W. M.Si. dari Fisipol UGM. Keduanya mewakili perspektif yang berbeda dalam mengulas fenomena adiksi digital, yakni perspektif psikologi kesehatan dan sosiologi.

Adiksi digital dapat dipahami sebagai kecanduan seseorang mengakses dunia digital secara berlebihan, hingga melupakan dimensi ruang dan waktu serta perannya. Menurut Neila, ketagihan terhadap konten pornografi digital, pertemanan dunia maya, maupun permainan interaktif daring; menjadi beberapa bentuk adiksi digital yang lazim ditemui saat ini.

Selain beberapa karakteristik khusus dari dunia digital tersebut, faktor lain baik biologis, psikologis, maupun lingkungan; juga dapat menyebabkan adiksi ini. Tentu saja, dengan tingkat dan dampak destruktif yang berbeda-beda pada kehidupan nyata, tergantung komplikasi antar faktor.

Untuk penyembuhan adiksi digital, Neila menjelaskan riset Cybertherapy dan Digital Diet sebagai beberapa metode yang tengah dikembangkan. Menurutnya, meski lebih baik jika dilakukan dengan pengawasan psikolog, diet digital sebenarnya dapat dimulai secara mandiri dengan mengurangi secara bertahap durasi penggunaan internet per hari.

Derajad sendiri, melihat bahwa adiksi digital merupakan fenomena yang mengkonstruksi dan dikonstruksi, serta dapat dilihat dari berbagai dimensi. Pada dimensi mezzo, adiksi digital dapat disebabkan oleh keanggotaan pada kelompok/organisasi tertentu yang termediasi melalui dunia digital, misalnya grup Whatsapp. Di sisi lain, adiksi juga terkonstruksi akibat sistem tertentu pada dimensi makro, sebagai contoh kebijakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) di Indonesia.

Oleh sebab itu, dampak dari adiksi digital dalam perspektif sosial pun dapat dipahami lebih kompleks. Tak hanya berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang, adiksi digital justru lebih dahulu berdampak pada interaksi dan perilaku sosial di tengah masyarakat. Pilihan seseorang untuk bergaul dengan sekitarnya, hingga fungsi sosial dari kepemilikan gawai; menjadi beberapa dampak yang dijelaskan Derajad.

Pada sesi tanya jawab, diet digital mandiri menjadi topik yang dominan dibahas dalam diskusi. Kesulitan untuk membatasi penggunaan gawai ketika informasi terkait pekerjaan/perkuliahan biasanya didistribusikan secara digital, menjadi salah satu kendala diet digital yang dibicarakan. Tuntutan profesi yang membuat seseorang harus terus mengakses internet dan aktif dalam dunia digital, juga turut disampaikan.

Neila menyatakan bahwa kedua kendala di atas sebenarnya dapat diatasi melalui manajemen yang tepat atas diet digital itu sendiri. “Mengakses dunia digital dengan intensitas tinggi, belum tentu adiksi digital. Produktif atau tidaknya konsumsi tersebut, serta kesadaran pengguna akan dimensi ruang dan waktu selama menggunakan-lah yang dapat menjadi indikator,” kata Neila.

Sementara Derajad, menggarisbawahi pentingnya aksi kolektif dan penciptaan lingkungan yang kondusif, jika diet digital hendak diimplementasikan kepada masyarakat. Pada akhirnya, tidak ada satu aktor pun yang bisa menghentikan arus perkembangan digital. Pencegahan terhadap dampak negatif yang muncul, seperti adiksi digital, perlu ditangani tak hanya pada tingkat individu tetapi juga masyarakat beserta pembuat kebijakan yang ada.(/sno)