Akademisi dalam Aksi Humaniter, Pentingkah?  

Yogyakarta, 26 November 2018—Menyikapi pentingnya aksi humaniter UGM bekerja sama dengan NOHA dalam membentuk acara “The NOHA-UGM School on Humanitarian Supply Chain Management and Logistics”.

Aksi humaniter dimaknai sebagai upaya untuk menyelematkan kehidupan, mengurangi penderitaan, dan mempertahankan martabat manusia dalam keadaan pasca-krisis. Dengan begitu, kehidupan korban terdampak krisis menjadi hal yang paling diutamakan.

Setiap tahunnya, berbagai wilayah di belahan dunia dihadapkan dengan keadaan krisis seperti bencana alam dan konflik bersenjata. Keadaan inilah yang kemudian menjadikan aksi humaniter menjadi hal yang penting.

Namun kenyataannya, belum semua aksi humaniter yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Masih terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi dan topik itulah yang kemudian menjadi bahasan dalam acara yang diselenggarakan di Gedung Auditorium lantai 4 ini.

Salah satu penyebab mengapa aksi humaniter tidak dapat berjalan lancar adalah karena adanya celah antara perencanaan dan eksekusi dalam aksi tersebut. Celah tersebut muncul saat akademisi dan praktisi tidak memiliki kesinambungan dalam upaya aksi humaniter.

Joost Herman selaku Presiden NOHA dan sekaligus pembicara dalam sesi ini mengatakan bahwa akademisi dulunya menjadi pihak yang tidak dianggap penting dalam aksi humaniter. “Baru pada tahun 2005, peran akademisi mulai dianggap serius dan mulai berperan dalam dunia humaniter,” tuturnya.

Padahal kenyataannya, akademisi memiliki peran yang sangat signifikan dalam aksi humaniter. Salah satunya adalah dalam hal evaluasi program, dimana ternyata banyak rencana program yang tidak sesuai realita eksekusinya.

Terkait dengan hal tersebut, akademisi dapat menjadi pihak pengevaluasi dengan ikut terlibat dalam riset dan produksi bukti dalam pendekatan analitik pasca aksi humaniter. Dengan begitu, akademisi dapat memperdayakan nilai yang mereka punya untuk kepentingan efisiensi aksi humaniter selanjutnya.

Gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006 dapat dikatakan sebagai awal dimana Joost Herman sebagai akademisi mulai tergerak dalam aksi humaniter. Dirinya merasa bahwa sudah saatnya keahlian dan pengetahuan akademisi benar-benar digunakan dalam upaya penyelamatan korban yang berada dalam keadaan krisis.

“Sebagian besar korban gempa bumi mengalami retak dan patah tulang atau pendarahan dalam, penanganan korban yang tepat membutuhkan keahlian dan pengetahuan tinggi supaya tidak semakin membahayakan si korban,” jelasnya.

Hal penting lainnya dalam program humaniter adalah adanya penyediaan logistik. “Logistik merupakan hal yang penting, dan penyediaan logistik efisien untuk aksi humaniter merupakan hal yang kompleks karena kita juga perlu memperhatikan situasi darurat dalam aksi humaniter tersebut,” jelas Muhadi Sugiono dalam sambutan pembukaannya.

“Dalam keadaan ini, penduduk lokal yang terdampak krisis menjadi pihak yang dapat melakukan pemulihan pasca bencana paling efisien,” ujar Joost Herman. Hal tersebut karena penduduk lokal merupakan pihak yang paling mengetahui keadaan setempat dan hal apa saja yang paling dibutuhkan pada masa-masa krisis tersebut.

Masalah yang kemudian sering dihadapi dalam hal logistik adalah bagaimana logistik tersebut dapat digunakan secara efektif dan efisien. Dalam hal ini, akademisi kembali berperan dalam penyusunan strategi dan pengorganisasian logistik supaya logistik yang dimiliki dapat digunakan secara maksimal demi tujuan kemanusiaan.

Seperti yang telah dikatakan, aksi humaniter harus berfokus pada tujuan kemanusiaan saja. Dengan begitu, semua pihak yang masuk untuk memberikan bantuan maupun pendampingan humaniter tidak boleh membawa kepentingan politik mereka sendiri.

Langkah selanjutnya yang kemudian harus dilakukan akademisi adalah memastikan bahwa perusahaan swasta, organisasi, dan kekuatan militer benar-benar memahami makna aksi humaniter itu sendiri.

Menutup sesi materinya, Joost Herman mengatakan bahwa menjadi pihak netral merupakan hal utama dalam aksi humaniter. “Kita tidak ingin menjadi pihak yang dominan dalam operasi humaniter,” pungkasnya.

Setelah selesai menyampaikan materi, Joost Herman memberi kesempatan bagi peserta untuk megajukan pertanyaan. Sesi tanya jawab kemudian sekaligus menjadi penutup dari sesi materi pertama yang kemudian dilanjutkan dengan sesi makan siang pada pukul 12.00 WIB.

Sesi materi yang diisi oleh Joost Herman hanyalah satu dari empat rangkaian acara atau sesi untuk hari itu. Sesi selanjutnya akan dilakukan di kelas-kelas dimana peserta akan mulai dikelompokkan ke dalam dua kelompok berbeda. (/Jkln)