‘Ancaman Serangan Siber di Pra, Masa, dan Pasca Pemilu’

Yogyakarta, 18 April 2019 – Pasca dilaksanakannya Pemilu 2019, Center for Digital Society (CfDS) memaparkan bentuk-bentuk ancaman keamanan siber yang telah terjadi di masa Pemilu. Pemaparan tersebut pun menegaskan bahwa dibalik kesuksesan penyelenggaran Pemilu 2019, terdapat berbagai jenis ancaman keamanan siber yang berupaya mengganggu pelaksanaan pesta demokrasi Indonesia, dan patut kita waspadai bersama.

Pemilu & Ancaman Siber

  • Beberapa contoh potensi ancaman siber pra-Pemilu dapat diwujudkan dalam bentuk penyebaran informasi hoaks yang berupaya untuk menghalangi masyarakat agar tidak memilih, seperti penyebaran tanggal pelaksanaan Pemilu yang salah atau penyebaran informasi pribadi dari kandidat tokoh politik yang berpotensi mencemari nama baik kandidat tersebut.
  • Sementara potensi ancaman siber Masa dan Pasca-Pemilu dapat diwujudkan dalam bentuk aksi peretasan dan manipulasi data terhadap mekanisme pengambilan suara yang melibatkan adanya pemrosesan data elektronik, seperti quick count.
  • Dalam proses elektoral sendiri, Scott Shackelford mengungkapkan terdapat setidaknya lima area yang rentan terhadap serangan siber, yakni: 1) informasi yang diterima oleh pemilih menjelang Pemilu, 2) daftar peserta Pemilu, 3) mesin untuk memilih, 4) mekanisme rekapitulasi untuk menentukan pemenang, 5) sistem diseminasi yang dipakai untuk menyebarkanluaskan berita terkait dengan hasil Pemilu.
  • Di Indonesia sendiri, jejak awal kasus serangan saat pemilu di Indonesia terekam saat situs KPU diretas pada 2004 oleh seorang pemuda di bawah pseudonim Xnuxer. Tak hanya di Indonesia, proses elektoral yang terjadi negara-negara lain seperti Taiwan, Perancis, Amerika Serikat, dan Brasil juga tak luput dari ancaman serangan siber (didominasi oleh hoaks).
  • Mastel mencatat 92,4% hoaks disebarkan melalui media sosial, sedangkan 62,8% melalui aplikasi pesan instan, 34,9% lewat situs web, 8,7% dengan televisi, 5% menggunakan media cetak, dan 3,1% via Email.
  • Operasi penyebaran hoaks lewat media sosial memanfaatkan bias kognitif dalam psikologi manusia. Manusia memiliki keterbatasan memproses informasi, sehingga cenderung memilih sumber yang mudah dikonsumsi. Hal ini kemudian menyebabkan sekelompok orang terjebak dalam keyakinan dan imajinasinya sendiri.

Hoaks & Keamanan Siber

  • Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kominfo RI, terdapat 1.224 hoaks terkait dengan isu politik yang teridentifikasi dari Agustus 2018 hingga Maret 2019.
  • Kehadiran hoaks sebagai ancaman siber pun memberikan pengertian bahwa ancaman siber di era digital tidak serta merta hanya merupakan urusan teknis, namun juga soal manusia dan soal informasi.
  • Sejalan dengan konsep tersebut, CfDS pun memaparkan 3 kunci utama dalam menanggulangi serangan siber: 1) manusia yang memiliki literasi digital, 2) regulasi dan mekanisme penanggulangan yang adaptif, serta 3) teknologi perlindungan ranah siber yang mumpuni.
  • Langkah penanggulangan keamanan siber harus dilakukan dengan pendekatan kolaboratif dan progresif. Sektor swasta, masyarakat, dan pemerintah merupakan aktor-aktor kunci dalam menjaga benteng pertahanan kita terhadap serangan siber (/Rilis).