Apakah Gig Economy Bisa Menjadi Alternatif Pilihan Pekerjaan di Masa Depan

Yogyakarta, 28 November 2019—Perkembangan teknologi saat ini mendorong munculnya berbagai macam pekerjaan baru, seperti freelancer dan pekerja paruh waktu. Tipe-tipe pekerjaan ini menawarkan fleksibilitas waktu dalam bekerja dan kebebasan tempat untuk bekerja. Keuntungan yang diperoleh perusahaan apabila merekrut pekerja freelancer adalah menekan pengeluaran, pekerjaan selesai lebih cepat, fleksibel, freelancer bekerja secara mandiri, dan lebih inovatif. Beberapa keuntungan diatas kemudian menjadi bahan pertimbangan sebuah perusahaan dalam mencari pekerja. Era ini kemudian disebut dengan Gig Economy.

Difussion kali ini menggelar diskusi mengenai Gig Economy: The Future of Work?. Fokus pembahasan diskusi ini ada pada bagaimana gig economy menjadi sebuah opsi dalam memilih pekerjaan, dan bagaimana lika liku perusahaan gig economy menanggapi berbagai perdebatan mengenai jaminan mutu pekerjaan para pekerja Gig.

Difussion kali ini menghadirkan ketiga pembicara, yaitu Lachlan Colgrave, Amelinda Pandu, dan Yuliana Khong. Ketiganya membahas hasil risetnya masing masing di negara yang berbeda. Diskusi mengenai Gig Economy di Indonesia dipaparkan oleh Amelinda Pandu, ia memberikan apa yang sebenarnya diterima oleh pekerja Gig.

“Fleksibilitas yang ditawarkan terkadang justru membuat pekerja Gig menjadi overworked dan underpaid. Ambil contoh, driver gojek, mereka memang tidak dipatok sehari harus bekerja berapa jam, dan tidak ada tuntutan target, namun mereka diberi penawaran apabila bisa mencapai poin tertentu akan mendapatkan bonus, secara tidak langsung mereka akan memilih untuk mencapai poin tersebut meski harus overworked,” kata Amelinda.

Selain overworked dan underpaid, Amelinda juga memaparkan bahwa pekerja Gig tidak begitu banyak mendapatkan social security dan proteksi, penuh dengan ketidaktentuan, dan keterbatasan meningkatkan skill, waktu mereka akan tersita dengan overworked, sehingga tidak ada waktu untuk meningkatkan skill.

Sedangkan, Yuliana Khong membagikan pengalamannya sebagai pengguna pekerja Gig di China. Ia adalah pengguna DIDI Chuxing. DIDI Chuxing adalah perusahaan penyedia jasa transportasi online semacam Gojek.

“DIDI bukan lagi perusahaan yang merangkak, Ia menjadi satu satunya perusahaan transportasi online di China, ia justru berhasil memonopoli perusahaan transportasi online lainnya,” kata Yuliana. DIDI justru sudah bekerja sama dengan pemerintah untuk memantau traffic, dan menjadi solusi offline masalah transportasi. DIDI juga menerapkan kedisiplinan dan keadilan bagi pekerjanya, serta melokalisasi pekerjanya.

“Driver DIDI tidak akan bisa ganti begitu saja, kan kalau disini sering tuh kalau order Gojek, driver dan data pribadi yang tertera berbeda. Nah, kalau DIDI gak akan bisa seperti itu, karena setiap kali login harus melewati syarat face recognition, dengan ini maka DIDI menawarkan keamanan yang lebih menjamin daripada Gojek,” kata Yuliana.

Sedangkan, Lachlan Colgrave yang akrab disapa Loki, membahas Gig Economy di Australia, dia mengambil studi kasus pada perusahaan transportasi umum, Uber. Perbedaan Uber dengan transportasi online lainnya adalah Ia tidak menyediakan e-wallet atau layanan lainnya, Ia hanya menawarkan layanan transportasi saja. Menariknya, sejak awal berdiri tahun 2012, Uber beroperasi secara ilegal. Ini artinya pemerintah meregulasi bahwa Uber merupakan layanan umum yang ilegal.

“Meskipun begitu, tetap banyak orang yang bersedia menjadi driver. Karena, perusahaan menjanjikan memberi bayaran yang lebih tinggi kepada driver jika bersedia menjadi driver,” kata Loki. Lalu, apakah bisa Gig Economy menjadi alternatif pekerjaan di masa depan?

Menurut Yuliana, berkaca dari keberhasilan DIDI di China, maka bisa saja orang orang memilih menjadi pekerja Gig, karena “digital is a lifestyle”. Bagi Amelinda, boleh saja orang orang menjadi pekerja Gig, tetapi mereka harus menyadari bahwa pekerja Gig tidak memberikan jenjang karir yang jelas, karena mereka bekerja atas adanya proyek saja. (/pnm).