Bekerjasama Dengan Kemenko Perekonomian, Fisipol Adakan Diskusi Publik Omnibus Law

Yogyakarta, 12 Maret 2020 – Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja yang menuai perdebatan publik, dibedah secara mendalam oleh Fispol bersama Kemenko Perekonomian melalui diskusi publik yang berlangsung di Auditorium Gedung BB Lt.4. Arif Budimanta, Staf Khusus Presiden RI, menyampaikan urgensi adanya RUU Cipta Kerja berangakat dari struktur demografi, “Ada bonus demografi yang harus kita sikapi karena waktunya tidak panjang, seperti Korea Selatan dan Jepang,” ujar Arif.

“Kenapa mereka bisa maju?  Karena saluran cipta lapangan kerja mereka bukan hanya pada sektor informal tapi masuk ke sektor formal yang riil karena lebih memberikan kepastian.  Ada persoalan quality of jobs yang kita hadapi,” pungkas Arif. Hal tersebut juga ditekankan oleh  Reza Yamora Siregar selaku Staf Khusus Kemenko RI bahwa dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 6-7% pertahun serta jumlah manusia sebanyak 260 juta, dalam 10 tahun mendatang kapita yang didapat bisa bertambah sebanyak dua kali lipat.

Selain itu, Reza juga menekankan bahwa investasi di konteks omnibus law bukanlah untuk merebut pasar dalam negeri, namun ingin meningakatkan ekspor dan supply chain UMKM dan koperasi yang mencapai 90% di Indonesia. “Saat ini, keterkaitan UMKM dengan global value chain gak ada nyambungnya, contohnya investasi di Jawa Barat sangat tinggi tapi tidak ada kemitraan sama UMKM. UMKM mestinya jalan sebagai topangan, jadi kalau dibilang ingin menguntungkan investor, ya gak mungkin kalau 90% sektor ekonomi kita saja ada di UMKM,” ujar Reza.

Riza Noer Arfani, Dosen Departemen Hubungan Internasional pun turut mengkritik bahwa ada potensi moral hazard pada rancangan omnibus law. “Terlalu naif ketika melihat ekonomi dari sisi horizontal saja karena dilihat dari vertical provisions seperti syarat investasi, harus ada priotas jelas misalnya berfokus pada produksi padat karya. Kalau misal izin lingkungan dibilang menghambat, ada industri yang pro lingkungan tapi tidak ditanggapi dalam RUU. Apabila ingin ada deregulasi, mengapa tidak dikerjakan bersama perusahaan karena selama ini pemerintah bekerja terpisah dan punya tujuan sendiri yang malah menghambat investasi,” ujar Riza.

Selanjutnya, dua dosen dari Departemen Sosiologi yakni Tadjuddin Noer Efendi dan Arie Sujito, mengkritik substansi RUU diantaranya penghapusan cuti melahirkan dan haid yang dihapus, perubahan diksi “layak” menjadi “sejahtera”, kesiapan birokrasi, hingga sejauh mana konsolidasi kelembagaan regulasi hingga perspektif anak muda mengenai regulasi yang akan memfasilitasi atau malah menjerat mereka di masa depan.

Selain pemaparan dari pembicara, diskusi publik ini juga melibatkan mahasiswa melalui pembacaan kajian dari Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM yang menyatakan bahwa  aspek human cost dan ecological cost dalam RUU perlu diteliti kembali serta dalam proses penyusunannya perlu diikutsertakan oleh  partisipasi publik. Selain DEMA, hadir juga perwakilan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia D.I Yogyakarta dan Aliansi Gejayan Memanggil yang menolak Omnibus Law.

Melalui diskusi publik sebagai bentuk proses deliberasi perumusan kebijakan, acara yang dihadiri 300 orang tersebut diharapkan menghasilkan telaah kritis dan komprehensif atas rancangan omnibus law. Pihak pemerintah yang diwakili Arif Budimanta pun mengapresasi aksi Aliansi Gejayan Memanggil yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat atas kontribusinya dalam memberi naskah kajian yang berisi masukan konstruktif. (/Afn)