Belajar Identitas dan Budaya Tuli: Kata ‘Tuli’ Bukanlah Kata Kasar

Yogyakarta, 12 Maret 2019—Selama ini kita berpikir bahwa “tuli” adalah kata yang kasar dan harus diganti penggunaan bahasanya menjadi “tuna rungu”. Namun pernahkah kita berpikir siapa yang membuat kata “tuna rungu” dan bagaimana pendapat orang tuli mengenai kata tersebut? CDC Fisipol UGM menyelenggarakan Kelas Bahasa Isyarat untuk mengajak mahasiswa belajar identitas dan budaya tuli.

Riski Purna Adi, seorang sahabat tuli dan sekaligus pengajar dalam kelas bahasa isyarat ini, mengatakan bahwa sebenarnya “tuli” bukan kata yang kasar. Kata “tuna rungu” dibuat oleh orang dengar dan penggunaan kata tersebut justru dianggap kasar dan menyinggung orang tuli. Sebelum melanjutkan ke pelajaran bahasa isyarat, Riski dibantu oleh Farida, menyampaikan beberapa hal mengenai identitas dan budaya tuli. Dalam materi ini, Riski juga menyinggung sudut pandang medis mengenai tuli yang sebenarnya salah.

“Orang medis memaksa tuli untuk dapat menggunakan bahasa oral dan tidak menganjurkan kita untuk menggunakan bahasa isyarat. Mereka bilang, bahasa isyarat dapat merusak kemampuan berkomunikasi kami, dan anggapan itu salah,” ujar Riski.

Hingga sekarang, belum ada bukti spesifik yang mengatakan bahwa bahasa isyarat dapat mengganggu kemampuan berbahasa dan berinteraksi orang tuli. “Fakta bahwa kami tidak bisa mendengar itu tidak apa-apa, selama kami bisa berinteraksi dengan bahasa isyarat. Kami tidak sakit atau bahkan cacat,” ujar Riski.

Meskipun susunan bahasa isyarat memang terbolak-balik apabila dibandingkan dengan susunan atau tata bahasa Indonesia, akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi orang tuli untuk dapat berinteraksi. Susunan yang terbolak-balik juga tidak menjadikan kemampuan tulis berbahasa Indonesia orang tuli menurun karena menggunakan bahasa isyarat. Riski juga mengatakan bahwa terdapat beberapa kasus dimana orang tuli dipaksa untuk menggunakan implan alat dengar. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat sepenuhnya membantu mereka untuk mendengar. Yang kemudian dapat dilakukan adalah orang tuli dan orang dengar harus saling membantu dan belajar bahasa satu sama lain.

“Yang terpenting adalah kita dapat berinteraksi. Kami bahkan juga mempelajari bahasa isyarat internasional supaya kami juga dapat berinteraksi saat berada di luar negeri,” ujarnya.

Setelah pemaparannya mengenai budaya dan identitas tuli, Riski melanjutkan kelas dengan pelajaran bahasa isyarat itu sendiri. Pelajaran dimulai dengan melakukan review pelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan pertama. Setelah itu, Riski memperkenalkan dua jenis bahasa isyarat yang ada di Indonesia. Jenis pertama adalah SIBI yang merepresentasikan Bahasa Indonesia pada gerakan atau isyarat tangan. Jenis ini dibuat oleh orang dengar dari pemerintah Indonesia. Jenis yang kedua adalah BISINDO yang dibuat oleh orang tuli sendiri dari Laboratorium Penelitian Bahasa Tuli. Jenis ini lebih mudah dipahami oleh orang tuli dan lebih sering digunakan. Dalam menyampaikan konsep atau makna dari suatu kosa kata, BISINDO mengacu pada visual, sedangkan SIBI mengacu pada urutan.

Pelajaran kemudian dilanjutkan dengan belajar alfabet dan angka yang merupakan dasar dari pembelajaran suatu bahasa. Tidak hanya menerima materi, peserta kelas juga diajak untuk mempraktekkan apa yang mereka dapat. Selanjutnya, peserta diajak untuk belajar memperkenalkan nama dan pengucapan nomor telfon. Peserta kelas juga belajar cara melakukan hitungan dan symbol-simbolnya dalam bahasa isyarat, serta mengucapkan tanggal, hari, bulan, dan tahun dalam bahasa isyarat. Setelah semua materi telah disampaikan, Riski memberi waktu sekitar 15 menit bagi peserta kelas untuk mempraktikkan apa yang telah mereka dapatkan. Sekitar 20 peserta tampak antusias dalam kelas ini, baik selama pemberian materi maupun praktik.

Sebelum menutup kelas, Riski juga memberi kesempatan bagi peserta kelas yang ingin menyampaikan pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang ditanyakan adalah jenis bahasa isyarat yang sering muncul di televisi.

“Ambil saja contohnya RCTI dan TV One, mereka menggunakan BISINDO. Berbeda dengan TVRI yang menggunakan SIBI dan BISINDO. Selain itu, masing-masing bahasa isyarat juga memiliki perbedaan apabila diamati. Ada bahasa isyarat Jogja, atau bahasa isyarat Jakarta,” pungkasnya.

Kelas bahasa isyarat ini dijadwalkan oleh CDC Fisipol UGM dalam dua puluh kali pertemuan. Tingginya permintaan dari mahasiswa untuk mengadakan kelas bahasa isyarat mendorong CDC untuk membuka kelas ini dan memfasilitasi para mahasiswa. Kelas ini akan diadakan seminggu dua kali, yaitu pada hari Selasa dan Kamis pada pukul 13.30-15.30 WIB. (/Jkln)