Beyond the Great Wall #4: Masa Lalu dan Masa Depan Cina, dari Uighur Hingga Perkembangan Teknologi

Yogyakarta, 16 Agustus 2019—Konflik Uighur tak cukup dilihat sebagai penindasan si kuat terhadap si lemah di sebuah tempat pertandingan yang sempit. Di dalamnya, kompleksitas kondisi sosial-politik, budaya, hingga psikologis masyarakat Cina dan dunia tentu mengambil bagian. Topik ini menjadi pembahasan utama dalam acara Beyond The Great Wall #4 yang diadakan oleh jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM Jumat lalu.

“Pengambilan keputusan aktor-aktor yang terlibat dalam isu dunia internasional selalu dipengaruhi oleh kondisi sosio-environment dan historis yang terjadi di dalamnya,” papar Irfan Halim, Asisten HKI Fakultas Psikologi UGM. Pada forum diskusi Beyond the Great Wall #4 bertajuk “Cina: Masa Lalu dan Masa Depan” Jumat lalu, ia membahas isu etnis Uighur melalui pendekatan psikologi sejarah dan psikologi naratif. Hadir pula di forum yang sama Arindha Nityasari, Peneliti di Institute of International Studies (IIS) UGM yang memaparkan review buku mengenai artificial intelligence di Cina.

Dalam memahami konflik Uighur, Irfan mengajak hadirin untuk membentuk pandangan yang lebih komprehensif. Banyak narasi berbenturan dan bersifat bias hingga membuat dunia terpolarisasi. Hal tersebut salah satunya dapat kita temukan di media sosial. “Di Indonesia, isu Uighur selalu dikaitkan dengan solidaritas keagamaaan, khususnya di kalangan (masyarakat) Muslim,” jelas Irfan. Ia memberi contoh tentang fakta yang terjadi di Indonesia. Dalam keriuhan media sosial negara kita, misalnya, HTI sangat rajin mengkritisi negara-negara Muslim yang bersikap abstain atas tindakan represif terhadap kaum Uighur. “Padahal, kaum Uighur sendiri sebenarnya juga sangat multietnis,” tambahnya.

Di sisi lain, pemerintah Cina seringkali berlaku layaknya wasit yang tak bertanggung jawab atas berlangsungnya pertandingan. Karena bersikap represif terhadap penggunaan media sosial, pemerintah Cina selalu bersikap defensif terkait konflik Uighur dan mendakunya sebagai “urusan dalam negeri”. Akibatnya, banyak negara kesulitan memberi pengaruh politis secara langsung untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Pada termin diskusi selanjutnya, Arindha memaparkan review buku berjudul AI Superpowers, China, Sillicon Valley, and the New World Orders karangan Kai Fu Lee. Secara umum, buku tersebut berisi tentang sejarah perkembangan dan ekosistem teknologi di Cina. Berkaitan dengan sejarah perkembangan teknologi, Arindha mengungkapkan bahwa saat ini Cina telah berevolusi dari age of discovery ke age of implementations. Pada age of discovery, ilmuwan Cina hanya memfokuskan usahanya untuk menemukan sesuatu (invention). Sementara age of implementation mengharuskan mereka mampu mengimplementasikan kegunaan teknologi secara praksis.

Selain itu, perkembangan teknologi juga membuat Cina berevolusi dari age of expertise (ilmuwan sebagai ahli teknologi) ke age of data, di mana banyak orang telah menjadi ahli analisis data. Hal ini tentu berdampak positif bagi Cina. Di kehidupan modern seperti saat ini, pemilik data adalah pihak yang berkuasa. “Cina memang tergolong diuntungkan dalam hal data karena rakyat rela memberikan data mereka demi kemudahan hidup,” papar Arindha.

Dalam hal ekosistem teknologi, artificial intelligence (AI) memiliki kedudukan penting bagi Cina. Keberadaan AI sangat didukung oleh kultur copycat (kemampuan mengadopsi atau meniru) yang dimiliki oleh rakyat Cina. Keduanya menjadi kunci penting perkembangan teknologi dan peradaban Cina di tengah masyarakat dunia.

Setelah kedua termin diskusi dan tanya-jawab usai, forum ditutup dengan informasi tambahan dari Nur. Rachmat Yuliantoro selaku Kepala Departemen sekaligus inisiator diskusi. Rachmat memberi kesempatan bagi hadirin untuk mengusulkan tema diskusi untuk pelaksanaan diskusi Beyond the Great Wall berikutnya. Ke depan, diskusi tersebut diharapkan mampu menumbuhkan pemahaman mahasiswa soal isu-isu tentang Cina di dunia internasional. (/Snr)