Bincang ASEAN ASC Fisipol UGM: “Mapping The Source of Indonesia’s Refugee Obligations: Does it Exist?”

Yogyakarta, 7 September 2018 – Asean Studies Center (ASC) FISIPOL UGM mengadakan diskusi bulanan bertajuk “Mapping The Source of Indonesia’s Refugee Obligations: Does it Exist?” di Gedung BB 208 Fisipol UGM. Diskusi tersebut menghadirkan Dio Herdiawan Tobing, S.IP, LL.M, Master of Laws in Public International Law, Leiden University sebagai pembicara, dan dipandu oleh Karina, Peneliti Asean Studi Center (ASC) Fisipol UGM.

Sumber yang menjadi fokus di diskusi ini merupakan disertasi Dio Herdiawan Tobing, S.IP, LL.M yang memetakan kewajiban pengungsi dari berbagai instrumen hukum internasional yaitu, Konvensi Anti Penyiksaan, Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Hak Anak, serta Kewajiban Internasional yaitu, larangan non-refoulement menurut hukum adat. Dio menjelaskan mengenai sumber utama dalam penelitiannya, permasalahan yang harus ditangani oleh negara mengenai pencari suaka dan pengungsi, sumber kewajiban negara dalam hukum international dan mengenai konvensi dan kewajiban adat.

Penelitian yang dilakukan oleh Dio menggunakan pendekatan sosio-legal dan dianalisis menggunakan perspektif hukum yang kemudian disesuaikan dengan konteks sosio politik. Berangkat dari munculnya anggapan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara transit utama di Asia Tenggara setelah Thailand dan Malaysia karena adanya 13.000 pencari suaka dan pengungsi yang ditampung di Indonesia. Namun, mengingat situasinya, Indonesia bukanlah negara anggota Konvensi Pengungsi 1951 dan protokol tambahannya. Kementrian Luar Negeri Indonesia dan lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan pemerintah lainnya sering menggambarkan bahwa sikap Indonesia terhadap isu-isu seperti pengungsi adalah solid. Artinya bahwa tidak ada ratifikasi, tidak ada kewajiban pengungsi. Pernyataan tersebut yang menjadi pertanyaan dalam diskusi ini, apakah sepenuhnya benar bahwa Indonesia tidak memberlakukan kewajiban pengungsi?

“Pengungsian merupakan suatu bentuk perpindahan penduduk yang mempunyai ciri berbeda daripada bentuk perpindahan penduduk lainnya. Ciri yang sedemikian itu membedakan pengungsi dengan kategori migran lainnya serta berpengaruh terhadap mekanisme perlindungan yang diterapkan kepada mereka,” papar Dio

Hal tersebut menjadi alasan mengapa Konvensi 1951 diperlukan, tentu dari sudut pandang negara penerima, arus pengungsian merupakan masalah kemanusiaan. Tetapi, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengungsian juga dapat berdampak pada bidang keamanan, ekonomi dan keseimbangan sosial politik pada negara penerima. Beberapa pertimbangan kemudian muncul ketika pengungsi menimbulkan dampak negatif bagi negara penerima, salah satunya adalah mengusir pengungsi. Namun, bagi negara yang merupakan pihak dari Konvensi 1951, pengusiran terhadap pengungsi merupakan larangan atau yang kerap disebut dengan non-refoulement merupakan suatu tonggak dalam hukum internasional.

“Pada pasal 33 Konvensi 1951 berisi prinsip non-refoulement ini termasuk dalam pasal-pasal yang tidak direservasi dan prinsip ini pun mengikat negara-negara yang bukan anggota Konvensi 1951,” jelas Dio

Namun, penerapan prinsip non-refoulement tersebut tidak bersifat mutlak atau absolut. Prinsip non-refoulement tersebut bisa saja tidak berlaku apabila keberadaan pengungsi mengancam keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum di negara penerima pengungsi. Adanya lebih dari 13.000 pengungsi yang ditampung di Indonesia, memaksa Indonesia untuk menerapkan prinsip non-refoulement. Temuan disertasi Dio, menunjukkan bahwa terlepas dari tidak adanya ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Pengungsi, negara tetap memiliki kewajiban pengungsi yang berasal dari instrumen hukum lainnya. Bahkan, ambang kewajiban non-refoulement Indonesia lebih tinggi, refleksi dari kewajiban tersebut dalam Keputusan Pengungsi yang baru diadopsi No. 125/2016

Sebagai penutup, Dio menjelaskan bagaimana sebenarnya penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia. Ia memaparkan bahwa praktik penerapan prinsip non-refoulement ini di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Surat Direktur Jenderal Imigrasi yang isinya adalah tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan/atau tidak menghormati atau mentaati UU di Indonesia. Bagi Indonesia, keamanan tidak hanya dalam konteks keamanan internal suatu negara, namun juga dalam sistem keamanan pangan, kesehatan, keuangan dan perdagangan.