Brief history of the Rohingya Refugee Crisis: Bisakah ASEAN Menyelesaikannya?  

Yogyakarta, 23 November 2018—ASEAN Studies Center UGM mengadakan diskusi bulanan bertajuk Bincang ASEAN: What ASEAN Can Do for Rohingya? Diskusi tersebut menghadirkan Dian Tricesaria, M.A., Chief Editor at IRRegular dan Former Health and Psychosocial Officer at Jesuit Refugee Service sebagai pemantik diskusi dan dipandu oleh Chitito Audithio Research Intern ASC  Fisipol UGM.Konflik etnis Rohingya dengan pemerintahan Burma kala itu, masih terus berlanjut saat ini hingga pemerintahan tersebut diganti menjadi Myanmar. Rohingya menjadi sebuah kisah yang tidak diselesaikan bahkan tidak dibicarakan oleh Myanmar. Terjadinya krisis kemanusiaan terhadap Rohingya telah menjadi perhatian internasional, sehingga mendorong PBB memberi “peringatan” terhadap Myanmar.

Brief history of the Rohingya Refugee Crisis menjadi topik yang disampaikan oleh Dian. Masyarakat Rohingya adalah masyarakat minoritas yang tinggal di utara Arakan (Burma) yang selanjutnya berganti nama menjadi Rakhine State (Myanmar). Adanya Operation Dragon King pada tahun 1978 di Burma waktu itu, menjadi momen Burma secara resmi sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Buddhist, sementara Islam, menjadi kelompok agama yang minoritas. Kala itu, Burma menetapkan etnis apa saja yang diakui dan Rohingya tidak termasuk didalamnya.

“Burma menetapkan sistem etnis informity, sistem yang menetapkan etnis apa saja yang masuk ke Burma. Saat itu pula, untuk pertama kalinya Rohingya diusir dan menjadi korban kekerasan, lalu mereka menjadi pengungsi ke Bangladesh dan di tahun yang sama mereka dipatriasi kembali ke Arakan,” kata Diah

Nasib Rohingya tidak berujung membaik hingga pada tahun 1982 terdapat momen Citizenship Act yang menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar dengan sengaja secara struktural merencanakan diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas rohingya.

“Rohingya tidak termasuk kedalam 135 etnis yang diakui oleh Myanmar, mengapa hal ini bisa terjadi?” imbuh Diah

Hal ini kemudian mendorong pemerintah Myanmar memproduksi sentimen, seperti bengali muslim, walaupun pada kenyataannya mereka memang berkaitan dengan Myanmar karena secara geografis, mereka tinggal di wilayah Myanmar dan tentunya sentimen tersebut mengakar di masyarakat Myanmar, yang tentunya tidak hanya di Rakhine State.

Ketika terdapat kekuatan Junta Militer di Myanmar pada tahun 1989, disinilah kemudian nama Burma diganti menjadi Myanmar. Menariknya, kebijakan digantikannya nama Arakan menjadi Rakhine State, merepresentasikan Rakhine Ethnic Group yang seluruh anggotanya adalah Buddhist.

“Junta Militer mengganti Arakan menjadi Rakhine State merupakan kebijakan yang didorong adanya kepentingan politik, padahal tidak seluruh masyarakat di Rakhine beragama Budha, Rohingya misalnya,” kata Diah

Posisi Junta Militer yang kuat di pemerintahan Myanmar membuat Rohingya semakin tertekan, mereka melakukan persekusi terhadap lawan politiknya. Salah satunya adalah Rohingya, hingga tidak ada sama sekali orang Rohingya di pemerintahan, mereka tidak memiliki siapapun untuk dapat mewakili suara mereka.

“Benar-benar miris, mereka tidak diakui dalam Undang-undang sebagai kaum minoritas di Myanmar dan dihilangkan akses partisipasi politiknya. Selanjutnya, kondisi ini dibumbui dengan adanya sentimen-sentimen rasis,” imbuh Diah.

Pada tahun 2012, terdapat insiden besar pertama yang mendapatkan atensi dari masyarakat internasional, yaitu adanya kerusuhan seorang perempuan Rohingya diperkosa dan beberapa laki-laki Rakhine dibunuh dengan alasan laki – laki tersebut adalah pelaku pemerkosa seorang perempuan Rohingya tersebut. Fakta yang muncul adalah momen atau insiden ini menjadi sebuah “senjata” bagi Junta Militer untuk semakin menjatuhkan Rohingya, yaitu dengan membuat berita seolah-olah peristiwa tersebut memang sengaja dibuat oleh Rohingya sehingga membangun kesan bahwa masyarakat Rohingya itu tidak berpendidikan, banal, menjijikan dan berbahaya.

Insiden kedua yaitu terjadi pada tahun 2015, dimana terdapat kurang lebih lima puluh ribu pengungsi rohingya mencoba berlayar ke India, Malaysia dan Australia dan terdapat beberapa kapal yang tersesat di Pulau Aceh. Yang terbaru adalah pada tahun 2016 terdapat sebanyak lima ratus ribu pengungsi Rohingya berlayar ke Cox’s Bazar Bangladesh. Peristiwa ini mendapat perhatian dari masyarakat internasional, hingga PBB menetapkan secara resmi peristiwa ini sebagai genosida dan pembersihan etnis.

“Pengakuan PBB atas peristiwa ini adalah peristiwa genosida dan pembersihan etnis menjadi sebuah clue bahwa masyarakat internasional harus bertindak dan pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas hal tersebut,” kata Diah

ASEAN pun sudah menetapkan bahwa isu ini adalah regional concern dan karena Myanmar sebagai anggota dari ASEAN, ekspektasi masyarakat internasional adalah ASEAN lebih banyak mengambil tindakan atas hal ini dan hal pertama yang dilakukan oleh ASEAN adalah mengirim bantuan melalui The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre).

Kontribusi ASEAN tersebut dirasa kurang kontributif, sehingga memunculkan adanya keputusan untuk mengirimkan satuan tugas regional untuk membantu pemulangan pengungsi Rohingya Myanmar dan faktanya tidak ada satupun pengungsi Rohingya yang ingin dipulangkan dengan alasan status kewarganegaraan mereka tetap tidak jelas.

“Lalu, apa yang bisa dilakukan ASEAN untuk pengungsi Rohingya?” tutup Diah. (/pnm)