CfDS UGM Memberi Analisis Mengenai Kemungkinan Pembentukan Kementerian Bidang Digital

Yogyakarta, 24 Juli 2019—Dengan berkembangnya teknologi dalam kecepatan yang cukup cepat, kemampuan pemerintah untuk mengikuti arusnya menjadi sebuah kepentingan negara. Kemampuan beradaptasi pemerintah pun ditanggapi dengan cara berbeda-beda di tiap negara, dan tidak hanya merupakan adaptasi mengenai teknologi namun juga secara kelembagaan. Itulah yang dicoba untuk dianalisis oleh CfDS, yakni peluang terbentuknya sebuah kementerian bidang digital di Indonesia.

Penelitian yang berjudul “Kementerian Bidang Digital: Implementasi di Berbagai Negara dan Peluang Terbentuknya di Indonesia,” adalah hasil karya empat orang peneliti dari CfDS yakni Anisa Pratita Kirana Mantovani, Anggika Rahmadiani, Theodore Great Aipasa, Janitra Haryanto, dan Sri Handayani Nasution.

Pemaparan yang diberikan oleh Anisa Pratita dan Anggika Rahmadiani ini merupakan hasil penelitian yang mengambil data melalui studi literatur dan perbandingan, dengan time frame pengambilan data Mei-Juni 2019. Studi ini dilakukan di tengah berkembangnya tren pemerintah negara-negara di dunia untuk meregulasi dan mengorientasi sektor digital, salah satunya dengan membentuk kementerian bidang digital.

Penelitian ini melakukan global benchmarking terhadap kementerian digital di banyak negara yakni Inggris, Skotlandia, Polandia, Yunani, Thailand, Perancis, Maroko, Mali, Guinea, Benin, Pantai Gading, Burkina Faso, Togo, Gabon, Madagaskar, Niger, dan Jerman. Karya kajian CfDS kali ini berfokus pada implementasi pendirian kementerian bidang digital dan juga skema yang memungkinkan untuk diadaptasi di Indonesia.

Dari cara pendirian kementerian digital, terdapat tiga metode yang dapat dilakukan. Beberapa negara yang dijadikan benchmark, tidak semua digunakan hanya beberapa yang digunakan untuk dibandingkan. Metode pertama yaitu Restrukturisasi kementerian yang sudah ada sebelumnya seperti yang dilakukan Thailand, Benin, Rusia, dan Polandia. Cara kedua adalah membuat kementerian atau lembaga di bawah kementerian lain seperti di Inggris, ketiga dan terakhir adalah pembuatan kementerian baru dan terpisah dari kementerian lainnya seperti di Yunani. Pemilihan bentuk tersebut didasari oleh pilihan orientasi digital yang hendak diimplementasikan suatu negara.

Kepentingan Indonesia untuk memikirkan pembentukan Kementerian bidang Digital adalah untuk meminimalisasi kondisi sektoral yang dialami pembuat dan pelaksana kebijakan digital Indonesia. Kebijakan-kebijakan digital seperti Sandbox milik OJK, Making Indonesia 4.0 milik Kementerian Perindustrian, dan pendirian BSSN merupakan salah satu fenomena sektoral yang terjadi di perumusan kebijakan digital Indonesia. Dengan pendirian sebuah kementerian bidang digital, Indonesia akan dapat memiliki strategi nasional yang dapat menyelaraskan segala kebijakan digital yang ada. Pendirian kementerian bidang digital tentu diharapkan tidak overlap dengan urusan khusus yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga lain yang sudah ada.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa beberapa negara sudah mendirikan lembaga atau kementerian khusus bidang digital, dan Indonesia dapat belajar dari contoh yang sudah ada jika ingin melakukan hal yang sama. Hal yang terpenting dari pemilihan metode adalah ke orientasi apa kebijakan itu akan diarahkan. (/Lak)