Difussion CfDS #16 : Mencermati Aktivitas Dibalik Media Sosial

Yogyakarta, 24 September 2019—Media sosial telah menghubungkan manusia secara mudah. Seiring berjalannya waktu, media sosial juga memberi dampak yang tak terduga dan justru merugikan. Center for Digital Society (CfDS) pun membahasnya dalam  Digital Future Discussion (Difussion) seri ke-16 bertajuk “Social Media: Connectiong or Disconnecting People?” Selasa silam di Creative Hub Fisipol yang dibawakan oleh tiga peneliti CfDS.

Anaq Duanaiko selaku peneliti menjelaskan tentang Internalised Hatred Brought Online dari hasil temuan Case Studies CfDS ke-55 yang berjudul “Digitalised and Internalised Homopobhia: The Case Of Grindr”, ia menemukan bahwa sesama kelompok gay pun bisa membenci kelompoknya sendiri. Hal ini muncul karena adanya internalised oppression, yakni preferensi dan perbedaan standar yang tidak ideal bagi orang tertentu. Mereka tidak secara langsung membenci homoseksual namun  benci di aspek tertentu.

“Kasus di Grindr sebagai tempat komunitas gay justru malah ada yang mediskriminasikan komunitasnya sendiri dengan tidak menerima gay yang feminim dan gendut misalnya, dari sini kita bisa lihat bahwa internalised kebencian bisa dimana saja, termasuk komunitas tertentu yang homogen,” jelas Anaq. Grindr sendiri memiliki fitur bio dimana penguna bisa menuliskan preferensi maupun ketidaksukaan mereka.

Secara tidak sadar, Grindr yang membiarkan sistem penentuan preferensi merupakan akar dari internalised hatred itu sendiri. “Layer of hatred pasti punya negative ideals yang tidak disukai orang lain, dibentuk masyarakat dan bisa berlangsung dimana saja, misalnya pada suku, ras, atau agama,” ujar Anaq.

Selanjutnya, Paska Darmawan, peneliti Digital Intelligence Lab CfDS menjelaskan bahwa  adanya Echo Chamber pada penggunan platform hanya terekspos pada hal tertentu. Echo Chamber inilah yang menghasilkan informasi hanya dari satu sudut pandang. “Sosial media cenderung menciptakan echo chamber, situasi dimana seseorang hanya terkspose oleh informasi yang sejalan dengan mereka,” jelas Paska. Sebagai contoh, fans k-pop akan cenderung menemukan postingan di linimasa yang relevan dengan  k-pop. Fenomena ini disebabkan oleh mekanisne algoritma yang menyebabkan beberapa sosial media menampilkan linimasa bukan lagi berdasarkan kronologis tapi top trend. Algoritmanya dibentuk berdasarkan history pengguna.

Selain itu, ada mekanisne psikologi yang bekerja dijelaskan dalam tiga teori. Pertama, selective exposures theory bahwa manusia memiliki tendensi memilih konten berdasarkan kesukaannya. Kedua, biased assimilation yang mempresepsi informasi sesuai mindset yang dimiliki seseorang. Ketiga, bounded rationality bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam berpikir, yang rentan mengalami overload informasi. Karena tidak mampu menyerap semua informasi yang didapat, akhirnya informasi yang diserap  hanya berdasarkan preferensi pribadi.

Echo Chamber akan membentuk bubble atau gelembung yang menghalangi informasi lain. “Dampaknya, kita cenderung resisten dengan informasi yang bertentangan dengan apa yang sudah diyakini,” ujar Paska. Hal inilah yang menjadikan echo chamber mempersempit sudut pandang. Namun terdapat platform yang algoritmanya tidak memakai echo chamber, yakni “Unfound” dan “Outside Your Bubble”.

Peneliti ketiga, Wava Charissa mengungkapkan bahwa data yang ada di internet dalam kondisi tidak terlabeli. Namun beberapa kasus seperti  #10YearChallenge, menjadikan data tersebut memiliki label yang mudah dibaca oleh Artificial Intellegent (AI), ada pola yang jelas dan memudahkan komputer untuk manganalisis.

Hal tersebut meningkatkan data mining dan data labelling. “Dampaknya adalah, kita tidak tahu sebenarnya apakah sesuatu yang kita unggah akan dibuat untuk keperluan apa,” ujar Wava. Namun, data set ini juga bisa memberi keuntungan pada AI dalam kemampuan facial recognition.

Di sesi diskusi, Rizky Tri Nur Chasanah, mahasiswa dari Hubungan Internasional pun berpendapat bahwa watak dari sosial media memang ingin mencari profit dan membuat pengguna engage memakai sosial media. Namun memang perlu diingat bahwa keterbukaan terhadap sesuatu yang bertentangan perlu dimulai dari diri sendiri sehingga tidak ada internalised hatred yang merugikan. (/Afn)