DigiTalk ke-30 CfDS UGM: Masyarakat Indonesia Harus Lebih Mawas Privasi Data

Yogyakarta, 15 Agustus 2019—“Anggaplah (privasi data) sebagai aurat,” ujar Anggoro Prasetya, Director Sadasa Academy, dalam helatan DigiTalk ke-30 Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada. Talkshow yang bertajuk “Do We Really Own Our Data?” tersebut membicarakan soal data pribadi, kepemilikan data, dan privasi. Prasetya menyebut bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum dapat memaknai privasi data sebagai hal yang penting, “karena epistemologi-nya (dari “privasi”) masih belum familiar (bagi masyarakat).”

Diawali dengan cuplikan dokumenter “The Great Hack”, peserta diajak memahami konteks topik. Dokumenter ini berisi skandal penyalahgunaan data oleh Cambridge Analytica dan kaitannya dengan pemilihan umum Amerika Serikat 2016. Diskusi dimoderatori oleh Diah Angendari selaku Sekretaris Eksekutif CfDS UGM.

Permasalahan utama dalam pengolahan data di sosial media dan aplikasi-aplikasi gawai adalah data pengguna dapat diambil tanpa disadari. Sejauh ini belum ada batasan data yang dapat diakses dalam dunia digital oleh data scientist dari manapun, baik dari badan riset, perusahaan for-profit, negara, bahkan organisasi tidak bertanggungjawab. “Kecenderungan apapun bisa (diketahui), dari selera, bahkan kecenderungan seksual seseorang,” ujar Prasetya.

Prasetya kemudian memaparkan apa yang disebut dengan filter bubble algorithm, yaitu algoritma yang dapat memfilter kebiasaan-kebiasaan pengguna. Inilah yang menjelaskan mengapa setelah user mencari barang tertentu dari sosial media, sebagai referensi untuk berbelanja daring misalnya, “kok tiba-tiba iklannya (yang muncul) itu barang-barang yang serupa dengan yang teman-teman pernah like, comment, dan sebagainya,” ujar Prasetya.

Donny BU, pendiri ICT Watch, menyebut kasus lain. Ia mengaku pernah membicarakan barang tertentu melalui pembicaraan telepon dengan sebuah aplikasi sosial media, “setelah itu iklan barang tersebut muncul di sosial media saya, walau tidak pernah saya cari (di sosial media).” Diduga pembicaraan tersebut dapat didengarkan melalui microphone oleh pihak aplikasi yang digunakan. Setiap aplikasi, setelah diunduh, akan meminta izin akses terhadap gawai pengguna, seperti terhadap microphone, kontak, kamera, dan lokasi GPS. Kebanyakan orang seringkali tidak menyadari hal ini dan memberikan izin tanpa pikir panjang. Padahal, hal ini berarti aplikasi tersebut akan terus memiliki akses terhadap fitur-fitur gawai pengguna, meskipun aplikasi tidak sedang digunakan. Donny menyarankan untuk mematikan izin-izin ini dan menyalakannya hanya ketika dibutuhkan, “saat mau pesan ojek online misalnya, baru dinyalakan. Lalu dimatikan lagi.” Donny kemudian menyebut kasus-kasus intimidasi yang melibatkan pelecehan seksual dalam tagihan aplikasi pinjaman daring sebagai referensi. Dalam kasus tersebut, pihak aplikasi sebagai penagih mengakses seluruh kontak peminjam dan menggunakan kata-kata yang bernada pelecehan untuk menagih hutang.

Filter bubble algorithm digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan keuntungan. Melalui algoritma ini, tawaran produk menjadi lebih tepat sasaran serta membantu perusahaan menentukan produk apa yang tengah diminta pasar. Ini menunjukkan bahwa, “data dapat dilihat secara individu. Mudah sekali bagi data scientist untuk melakukan profiling terhadap data yang dikumpulkan dari aktivitas-aktivitas digital seseorang,” ujar Krisostomus Nova Rahmanto selaku Big Data Analyst Kedata Indonesia Digital dan Mentor Sadasa Academy.

Lebih jauh, penyalahgunaan data ini kemudian dikaitkan dengan demokrasi. Kasus terbaru misalnya, soal penjualan data oleh negara pada swasta, yang sangat membahayakan. Di saat yang sama, data-data pribadi, jika levelnya negara, juga dapat digunakan untuk melihat dan mengontrol pola kecenderungan masyarakat. Melalui filter bubble algorithm, konten yang dilihat oleh pengguna dikerucutkan, yang berarti, “membatasi demokrasi, sebab sudut pandang jadi dibatasi,” ujar Prasetya. Artinya, konten-konten yang dibentuk dari algoritma tidak terbatas hanya pada produk dagang, tapi juga gagasan.

Rahmanto menyebut Republik Rakyat Cina sebagai contoh negara yang memiliki kontrol besar atas data-data pribadi warga negaranya. Dengan kontrol atas data-data pribadi, negara akan terlalu mudah melihat aktivitas warganya, “termasuk menentukan enemy of state, yang mana hal ini mengancam demokrasi,” papar Donny. Hal ini didukung pula oleh pemaparan dokumenter “The Great Hack” yang menyebut bahwa Kepala Tim Kampanye Donald Trump menggunakan metode serupa, bekerjasama dengan Cambridge Analytica, untuk mengumpulkan suara.

Namun, Indonesia belum memiliki undang-undang perlindungan data pribadi. Donny memaparkan, undang-undang tersebut merupakan prasyarat untuk membangun ekonomi digital yang aman. “Dari seluruh negara-negara G20, hanya ada dua negara yang belum memiliki undang-undang tersebut, Indonesia salah satunya,” ujar Donny. Di saat yang sama, masyarakat yang masih sangat awam dalam konsep privasi dan data pribadi sehingga dorongan untuk membuat undang-undang tersebut masih mini. Karenanya, penting untuk menyebarkan kesadaran atas privasi data pribadi, agar masyarakat lebih berhati-hati di sosial media, serta turut mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro-privasi individu. (/KY)