Diskusi Akademik Dibungkam, “Konsep Kenormalan Baru Dunia Akademik?”

Yogyakarta, 2 Juli 2020—Korps Mahasiswa Politik Pemerintahan (KOMAP) Fisipol UGM menggelar diskusi daring bertajuk “Diskusi Akademik Dibungkam, Konsep Kenormalan Baru Dunia Akademik?”. Acara ini dimoderatori oleh Jacinda Nurun dan menghadirkan dua pembicara yaitu Abdul Gaffar Karim, Dosen DPP Fisipol UGM dan Diego Febriyano, Menko Analisis BEM KM UGM 2020. Pada kesempatan kali ini, diskusi disiarkan melalui platform Google Meet dan berlangsung dari pukul 13.00-15.30 WIB.  Acara ini juga terbagi dalam dua sesi yaitu sesi awal penjelasan dari pembicara dan sesi kedua yaitu tanya jawab dengan peserta diskusi.

Sebagai pembuka diskusi, masing-masing pembicara menjawab beberapa pertanyaan pembimbing diskusi yang disampaikan oleh moderator untuk menuntun arah diskusi daring. Pada sesi ini, masing-masing pembicara menjelaskan beberapa poin penting diantaranya konsep dasar kebebasan akademik, urgensi pembungkaman akademik, dan komparasi kebebasan akademik di masa orde baru dengan saat ini. Pembicara pertama yaitu Abdul Gaffar Karim menjelaskan bahwa dalam perspektif kebebasan akademik, seorang individu tidak terlepas dari kewajiban sejarah yang masih diemban oleh seorang civitas akademika. Sedangkan menurut pembicara kedua, kebebasan akademik sendiri sebenarnya merupakan tanggung jawab civitas akademika sendiri. Namun, terkait perlindungan dan pertanggung jawaban kegiatan dalam kebebasan akademik menjadi kewajiban Pimpinan suatu universitas.

Maraknya kasus pembungkaman diskusi akademik, contohnya diskusi yang diadakan CLS UGM mengindikasikan bahwa terjadi masalah dalam konsep kebebasan akademik. Menurut para pembicara, urgensi dari pembungkaman akademik seperti itu tentu memiliki kepentingan untuk menjadikan suara di masyarakat menyatu. Menurut Gaffar, sebenarnya perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang bernilai positif jika hal tersebut dikelola secara baik. Hal ini  mengindikasikan bahwa terdapat kontestasi yang sehat dimana ada kelompok saling bersaing dan berusaha agar suaranya paling didengar di publik. Yang berbahaya adalah ketika ada upaya membungkam kelompok yang berbeda pendapat dengannya, seperti CLS UGM. Selain itu, Diego juga menyampaikan bahwa aliansi mahasiswa sendiri telah berusaha memberikan pendampingan dan pengelolaan isu dalam mengawal CLS UGM. Beberapa upaya yang telah dilakukan diantaranya adalah mendampingi CLS untuk melapor ke senat akademik dan berdiskusi dengan MWA Komisi 1 untuk merumuskan peraturan mengenai kebebasan akademik.

Sebagai komparasi konsep kebebasan akademik masa orde baru dan reformasi, pembicara menjelaskan pendapatnya dengan singkat dan menarik. Sebagai seorang akademisi yang mengalami secara langsung masa orde baru, Gaffar menceritakan bahwa persoalan ideologi dan keluarga soeharto menjadi isu yang cukup sensitive pada era tersebut. Menurutnya, perbedaan yang jelas antara era orde baru dan reformasi dapat dilihat dari pihak yang menjadi lawan. Saat orde baru musuh yang dilawan jelas yaitu intel dan peguasa. Sedangkan saat ini, antar civil society saja saling serang, saling curiga, sehingga tidak terdapat kejelasan mengenai siapa yang dilawan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat poin penting yang menjadi tumpuan yaitu terkait resiko dan trust. Jika masa orde baru resiko tinggi trust kuat sedangkan saat ini justru resiko semakin rendah namun trust juga rendah.

Memasuki sesi tanya jawab, antusiasme para peserta tergolong tinggi. Beberapa pertanyaan disampaikan oleh peserta diskusi, salah satu yang cukup menarik disampaikan oleh Hillarius Brian terkait standar dalam kebebasan akademik. Menjawab pertanyaan tersebut, pembicara menyampaikan bahwa kebebasan sendiri terbagi dalam dua bentuk yaitu khusus dan umum. Dalam hal ini, kebebasan akademik tentu berkaitan dengan hal-hal terkait akademik. Seorang akademisi harus bertanggung jawab dalam menyampaikan pengetahuannya. Dalam hal ini, kebohongan akademik seperti berbohong atas data merupakan suatu hal yang harus dihindari seorang akademisi. Selain itu, meskipun kita memiliki hak dalam menyampaikan pengetahuan, namun perlu digarisbawahi bahwa pengetahuan tersebut masih dapat difalsifikasikan dengan produksi pengetahuan selanjutnya. (/Mdn)