Diskusi Bulanan KOMAKO: Betapa Susah Mencari Kebenaran di Era Modern

Yogyakarta, 27 November 2019—Kehadiran teknologi mempermudah manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Namun, di satu sisi, ia mengobrak-abrik segala hal.

Guna merespon fakta tak terelakkan itu, Departemen Ilmu Komunikasi UGM, melalui Korps Mahasiswa Komunikasi (KOMAKO), menyelenggarakan acara bertajuk Diskusi Bulanan: Mencari Kebenaran di Era Pasca-Kebenaran. Acara diskusi tersebut diselenggarakan di Ruang Auditorium Mandiri Lantai 4 Fisipol UGM. Pada Rabu Siang, 27 November lalu, ruangan tersebut dihadiri banyak orang. Diskusi berlangsung secara intens.

Adalah Zainuddin Muda Z. Monggilo (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM), Fahri Salam (Editor Tirto.id), dan Septiaji Eko Nugroho (Founder & Chairman Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) yang menjadi pembicara dalam acarra diskusi tersebut. Sementara Nadia Intan Fadjarlie (Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan KOMAKO) menempati peran sebagai moderator. Diskusi Bulanan KOMAKO memang menjadi salah satu program rutin KOMAKO yang digawangi oleh Nadia tersebut.

Pada termin pertama, Zainuddin banyak membahas soal pengertian kebenaran secara konseptual. Ia banyak membahas tentang iklim informasi dan informasi digital di Indonesia, berikut tantangan dan kontribusi yang terdapat pada mahasiswa dan civitas akademika kampus secara umum.

“Hoaks adalah ciri khas era digital. Ia terbentuk melalui kebohongan yang dianggap sebagai kebenaran, fakta alternatif, dan keberadaan era post-truth yang semakin membuat kompleks,” tutur Zainuddin dalam presentasi dalam slide berjudul “Pasca-Kebenaran”.

Zainuddin juga menyebutkan tiga jenis kekacauan informasi yang terdapat di era digital. Ketiganya adalah misinformasi (informasi salah yang disebarkan oleh orang yang tidak tahu bahwa informasi itu salah), disinformasi (informasi salah yang disebarkan oleh orang yang tahu bahwa informasi itu salah), dan mal-informasi (informasi yang berdasarkan realitas, tapi digunakan untuk merugikan pihak lain).

Sementara pada termin kedua, Fahri kejatah membahas soal usaha pemberantasan hoaks di perusahaan tempat ia bekerja (baca: Tirto.id). Hingga tahun 2019, Tirto.id merupakan perusahaan media pertama di Indonesia yang mendapat sertifikat International Fast-Checking Network. Untuk menyampaikan materi tersebut, Fahri menayangkan sebuah produk video jurnalistik milik Tirto.id berjudul “Jokowi 2.0: Kurikulum Anti-Hoaks, Newsroom 63B.

Video tersebut, yang disampaikan dalam bentuk vlog, berisi laporan khusus Tirto.id dalam merespon kabinet baru Jokowi dan Ma’ruf Amin. Di dalam video, jurnalis Tirto.id berkeliling ke berbagai tempat guna menanyakan pengertian “hoaks” kepada banyak anak muda. Hal tersebut bertujuan guna menyatakan “pekerjaan rumah” yang belum selesai di kabinet sebelumnya, yaitu Kurikulum Anti-Hoaks. Sementara setelah video dipublikasikan, Tirto.id merilis rapot kinerja Kabinet Indonesia Maju dalam 100 hari masa kerjanya.

Di termin ketiga, sebagai Founder & Chairman Mafindo, Septiaji berkesempatan membagi pengalaman kerjanya dalam upaya memberantas hoaks dan ujaran kebencian. Di era modern, manusia memang dipermudah dalam memperoleh berbagai informasi. Namun, kesiapan kita dalam memilih hal yang benar dan bohong adalah pekerjaan rumah yang tak boleh dilupakan. (/Snr)