Fenomena Serangan Fajar dan Tingkat Religiusitas Calon Legislatif

Yogyakarta, 31 Agustus 2018 – Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM kembali mengadakan Academic Round Table Discussion yang bertajuk “Religiusitas dan ‘Serangan Fajar’ Studi Caleg Muslim di Pileg 2014”  yang dibawakan oleh Ahmad Muhajir pada Jumat (31/8) di Ruang BA 412, Fisipol UGM yang dihadiri sekitar 18 peserta. Diskusi dibuka oleh moderator Anastasia Imelda selaku mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan angkatan 2015 yang menjelaskan latar belakang pembicara yakni Ahmad Muhajir, PhD candidate di Australian National University yang sedang malaksanakan fellowship di DPP Fisipol UGM.

Ahmad Muhajir membuka diskusi dengan melontarkan research puzzle diantaranya mengapa praktik serangan fajar yang banyak ulama memfatwakan haram terjadi di masyarakat yang religius seperti di Indonesia dan apakah serangan fajar tidak ada hubungannya dengan religiusitas. “Serangan fajar sendiri adalah upaya untuk mendapat suara dengan menawarkan uang atau barang yang dalam bahasa akademik disebut ‘retail vote buying’,” ujar Muhajir.

Penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi pada pasca Pilkada Legislatif 2014 menunjukkan bahwa 33% masyarakat mengakui ditawari uang maupun barang. Indonesia sendiri menempati rangking tiga yang vote buying-nya tinggi dan posisi dibawahnya adalah negara mayoritas muslim lainnya yaitu Republik Mali di posisi tujuh dan Republik Niger di posisi delapan.

Ahmad Muhajir menuturkan bahwa penelitian mengenai religiiusitas dan vote buying masih sedikit. “Minimnya analisis vote buying dari sudut pandang religiusitas merupakan gap academic yang akan saya isi,” ujar Ahmad Muhajir.

Dalam risetnya kali ini, ia memakai mixed method  melalui wawancara mendalam 60 caleg dari mayoritas partai islam, 12 broker, serta 30 tokoh acak seperti warga, ulama, KPU, Banwaslu serta politisi. Observasi juga dilakukan di 11 kabupaten/kota. Di metode kuantitatif, risetnya mengukur religiusitas memakai centrality of religious scale yang digagas oleh Huber. Melalui pertanyaan mengenai keimanan, religiusitas berbanding lurus dengan frekuensi ibadah. Selain itu, Muhajir juga melakukan analisis fatwa mengenai vote buying dengan membandingkan fatwa di ulama atau kelompok tertentu seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah. Hubungan antara vote buying dengan religiusitas menyimpulkan bahwa vote buying tidak berkorelasi dengan religiusitas. Skala yang dihasilkan melewati  batas korelasi signifikan. Namun, mengapa hal tersebut bisa terjadi, Ahmad Muhajir menjelaskan tiga faktor utama yang menjelaskan mengapa religiusitas tidak berkorelasi dengan vote buying yaitu imbas sistem pemilu dan lemahnya penegakkan hukum, sifat dan varian fatwa tentang vote buying dan anggapan dari caleg itu sendiri.

Caleg tidak hanya berkompetisi dengan kandidat lawan partai, namun juga didorong oleh kompetisi dari partai yang sama sejak pemakaian sistem proporsional terbuka di tahun 2009. “Pemenang ditentukan dari jumlah perolehan suara partai dan masing-masing kandidat caleg, sebelumnya di tahun 1999 kalau partai memenangkan jatah satu kursi, kandidat nomer urut satu lah yang akan mendapat kursi,” tutur Muhajir.

“Mulai di tahun 2009, sistem pemilihan caleg berubah dan mengakibatkan persaingan yang bersifat personalitik. Masing-masing caleg berupaya untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas sehingga kampanyenya menjadi personal,” ujar Muhajir. Ditambah dengan penegakkan hukum yang lemah, terlihat dari hasil data dimana terdapat 180.000 caleg yang melakukan upaya vote buying di tahun 2014 namun hanya 18 caleg yang diproses di pengadilan.  “Hal ini menunjukkan bahwa dari 10.000 pelaku vote buying hanya 1 orang yang  terjerat hukum,” tambah Muhajir.

Faktor lain yang juga memengaruhi adalah sifat dan substansi fatwa, mengapa para caleg religius tidak mengikuti fatwa MUI atau Muhammadiyah maupun NU dijelaskan oleh Muhajir. “Menurut beberapa ahli, fatwa bersifat tidak mengikat sehingga beberapa muslim boleh mengikuti atau menolak, fatwa punya kekuatan moral bagi muslim yang mau. Fatwa tidak bisa dipaksakan, ada yang menganggap fatwa hanya sekedar nasihat atau anjuran. Para caleg berkonsultasi dengan kyai tertentu dimana ada yang memperbolehkan dan maklum terhadap tindakan vote buying. Ada kyai yang melarang secara absolut ada yang dengan catatan”, tutur Muhajir. Muhajir menambahkan bahwa dikursus keislaman mengenai politik transnasional belum tuntas. Fatwa MUI adalah contoh yang mutlak mengharamkan tindakan vote buying.  Bagi NU, niat lah yang menentukan hukum tindakan vote buying. Anggapan para praktisi vote buying sendiri bermacam-macam, alasan pembenaran tindakan diantarnya masih bisa diampuni, ingin bersedekah, menolong orang, maupun keadaan darurat. (/Afn)