#GejayanMemanggil: Dari yang Apatis Sampai Aktivis, Semua Turun Ikut Aksi

Yogyakarta, 1 Oktober 2019—“Sebenarnya saya bisa dibilang apatis, tapi terima kasih Gejayan Memanggil yang bikin saya mau ikut demo,” ujar Dinda, salah satu mahasiswi Fisipol yang menyampaikan refleksinya sebagai peserta aksi #GejayanMemanggil pada “Forum Refleksi: #ReformasiDikorupsi” yang berlangsung di Selasar Barat Fisipol UGM.

Forum Refleksi yang diselenggarakan oleh Fisipol tersebut hadir sebagai wadah berbagi pengalaman dan pandangan, salah satunya rangkaian aksi #GejayanMemanggil yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 23 dan 30 September silam.  Aksi yang dinamai ‘Aliansi Rakyat Bergerak’ tersebut menuai perhatian publik karena ‘kesuksesan’ demonstrasi yang membawa sembilan tuntutan secara solid, aman, dan tertib.  Partisipasi menjadi kunci dari kesuksesan #GejayanMemanggil, banyak dari kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pegiat seni, masyarakat umum, maupun mahasiswa dan Dosen Fisipol yang turut menggagas dan mendukung aksi ini.

Muhammad Hikari Ersada, mahasiswa Fisipol angkatan 2014 merupakan salah satu peserta aksi yang hadir mulai dari konsolidasi hingga aksi #GejayanMemanggil2. “Gejayan Memanggil  sedari awal tidak terpaku oleh identitas apa pun karena aliansinya mewakili rakyat, tidak lagi eksklusif. Aksi ini menampung partisipasi masyarakat dan ada trust yang dibangun,” tutur Hikari.

Pernyataan tersebut disetujui oleh Gendis Syar’i, mahasiswi Fisipol angkatan 2016 yang mengikuti dua aksi dari #GejayanMemanggil. “Banyak klaim narasi mengenai aksi ini, misalnya ditunggangi pihak oposisi, gerakan radikal, hingga liberal bahkan komunis. Gejayan Memanggil mencoba melibatkan seluruh entitas dalam perumusan kajian. Aksi ini bukanlah kesimpulan, tapi juga punya banyak catatan pertanyaan dan what’s next?” ujar Gendis.

Selanjutnya, Putu, mahasiswa angkatan 2014 mengungkapkan alasannya mengikuti Aksi #GejayanMemanggil. “Ada proses dalam diri untuk hadir sebagai warga, aksi ini menghalau kekerasan untuk muncul baik dalam bentuk kebijakan maupun suara-suara dari gerakan masyarakat,“ ujar Putu. Baginya, upaya menolak potensi kekerasan pada aksi kemarin dilakukan dengan bergerak bersama menggunakan banyak repertoire seperti ekspresi seni teatrikal dan musikal.

Perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua.yang hadir pada sore kemarin juga berharap semangat juang aksi #GejayanMemanggil dapat masuk ke masyarakat daerah-daerah pelosok agar ada upaya membangun kesadaran bersama sekaligus sarana pendidikan politik.

Abdul Gaffar Karim, Ketua Program Studi S1 Departemen Politik dan Pemerintahan yang mendukung aksi #GejayanMemanggil mengapresiasi mahasiswanya yang senatiasa krtitis, “Ketika mulai ada kebijakan kuliah lima tahun, mahasiswa akan mengejar kelulusan secara cepat. Saya termasuk yang takut gerakan mahasiswa akan mati, tapi aksi kemarin ternyata cukup mengobati kekhawatiran saya terhadap aktvisme mahasiswa,” ujar Gaffar sambil menutup forum tersebut.

Selain sebagai wadah berbagi pengalaman dan pandangan, forum refleksi tersebut juga mempertemukan para dosen yang pernah menjadi aktivis ‘98 dengan para mahasiswa yang mengikuti aksi #GejayanMemanggil. Awalnya, aksi #GejayanMemanggil menuai kontroversi dari pernyataan Rektorat UGM atas ketidakikutsertaan UGM dalam aksi tersebut. Pada sisi lain, Fisipol mendukung aksi ini sebagai upaya penyadaran pemerintah. Dukungan para dosen juga dituangkan oleh Amalinda Savirani, aktivis ‘98 yang saat ini merupakan Dosen Departemen Politik Pemerintahan yang memberikan dukungannya lewat opini di media The Conversation berjudul “Catatan Aktivis ‘98 Untuk Demo Mahasiswa 2019: Lanjutkan Perjuangan! (/Afn)