Geliat Perempuan Muda Marjinal Menggugat Keterbatasan Ruang Ekspresi

Yogyakarta, 12 Maret 2019—Kelompok marginal menjadi kelompok rentan yang diperhatikan oleh Youth Studies Center (YouSure) Fisipol UGM. Keberadaan mereka di tengah masyarakat Indonesia penuh dengan tantangan dan stigma, misalnya saja transpuan dan difabel.YouSure Fisipol UGM mengadakan diskusi mengenai kelompok marginal pada (12/3), dengan menghadirkan drg. Dea Safira Basori (Aktivis Feminist, Host & Produser YouTube Channel “Mbok Femi”), Nuning Suryatiningsih (CEO CIQAL), Jessica Ayu Lesmana (Aktivis Transpuan, Feminis Yogya); ketiganya merupakan aktivis yang berfokus pada isu feminisme.

Dea Safira Basori mengawali diskusi dengan membahas mengenai mengapa seorang perempuan menjadi rentan dan bagaimana perempuan seharusnya dapat berekspresi dengan bebas.

“Selama ini, narasi – narasi yang muncul mengenai perempuan, selalu dalam kacamata laki – laki,” kata Dea.

Menurutnya, wacana – wacana seperti itulah yang membuat perempuan menjadi rentan karena narasi yang muncul merupakan subjektifikasi laki – laki. Untuk itu, perempuan harus memiliki kemampuan untuk menarasikan pengalaman hidupnya dengan perspektif perempuan melalui media alternatif, seperti majalah, zine, podcast, youtube dan instagram. Hal ini bertujuan untuk membentuk narasi – narasi yang berperspektif perempuan.

Nuning Suryatiningsih sebagai aktivis perempuan penyandang disabilitas mengungkapkan kecemasannya sebagai seorang difabel. Ia merasa bahwa hak nya sebagai seorang difabel belum terpenuhi. “Kami, orang – orang difabel memiliki hak yang sama dengan kalian semua. Tetapi, kami memiliki cara yang berbeda untuk melanjutkan hidup. Kami merasa bahwa kami hanya sebagai warna, tetapi tidak diberikan kesempatan untuk mewarnai” kata Nuning Suryatiningsih.

Berbagai macam tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas diantaranya adalah masih adanya stigma negatif bagi penyandang disabilitas dan kekerasan sosial dan budaya yang menghambat kemandirian penyandang disabilitas. “Dan bagi kami, seorang perempuan penyandang disabilitas menjadi subjek diskriminasi ganda,” kata Nuning Suryatiningsih

Jessica Ayu Lesmana sebagai aktivis transpuan pun mengungkapkan hal yang sama. Keresahan yang ia rasakan adalah serangan cibiran bagi mereka kelompok transpuan dan perlakuan diskriminatif terhadap mereka. Dua masalah utama yang dihadapi oleh transpuan adalah intelektualitas dan tuna relasi.

“Akses kami terhadap pendidikan sangat minim, sehingga minim sekali pengetahuan yang kami dapat. Buku – buku yang bercerita tentang kami pun dihancurkan,” kata Jessica.

Tuna relasi yang dimaksudkan adalah mereka dijustifikasi sebagai simbol seks dan diobjektifikasi sebagai simbol parodi. “Kami dianggap sebagai simbol seks, karena kami mendapatkan kehidupan dari situ. Ketika kami bekerja sebagai pekerja seks, kami dapat mengekspresikan sebagai perempuan dengan lebih bebas,” kata Jessica

Curahan kekecewaan dari ketiga narasumber tentu membuahkan harapan yang besar bagi mereka perempuan muda yang merasa ruang ekspresinya terbatas.

“Kritislah terhadap semua hal tentang perempuan. Tanyakan apapun yang kalian bingungkan untuk proses memahami diri,” kata Dea Safira

Dua narasumber lain banyak berharap mengenai keadilan dan kesetaraan bagi kelompok mereka. Bagi Jessica, transpuan tidak menuntut dipahami dan dimengerti. Mereka hanya ingin lingkungan sekitarnya tidak memandang sebelah mata terhadap kelompok mereka dan harapannya akses terhadap pendidikannya dipermudah.

“Jadilah masyarakat yang respect terhadap keberagaman dan beranilah meyuarakan keadilan,” kata Nuning. (/pnm)