Hewan, Manusia, dan Relasinya: Antara Kompetisi dan Kooperatif

Yogyakarta, 25 April 2019—Departemen Sosiologi Fisipol UGM bekerja sama dengan BPPM Balairungpress mengadakan simposium ilmiah: “Hewan, Manusia, dan Relasinya. Simposium ini sekaligus menjadi momen peluncuran jurnal Balairungpress bertajuk Hewan dan Manusia”.Simposium ilmiah ini menghadirkan Prof. John Sorenson Dosen Sosiologi Brock University Canada dan Susilohadi Dosen Biologi Universitas Gadjah Mada serta dimoderatori oleh Anaq Duanaiko, Mahasiswa Sosiologi UGM.

Dalam simposium ini peserta diajak berdiskusi mengenai relasi antara hewan dan manusia melalui dua perspektif yang berbeda, yaitu sosial dan biologi. Dalam perspektif sosial, Sorenson menekankan bahwa hewan dan manusia tidak hanya terkait dengan kontinum biologis saja tetapi juga dalam hal kesadaran. Menurut Charles Darwin, tidak ada pembagian yang tajam antara manusia dan hewan, lebih tepatnya perbedaan derajat tetapi bukan jenis.

Eksploitasi dan kekerasan terhadap hewan merupakan salah satu bentuk interaksi negatif antar hewan dan manusia. Perasaan superior dalam diri manusia membuat tindakan eksploitasi tersebut menjadi hal yang wajar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Manusia merasa superior sehingga merasa bahwa mereka lah yang harus bertahan hidup dengan keadilan yang sebenar – benarnya,” kata Sorenson.

Dalam perspektif Critical Animal Studies,  manusia bukanlah satu – satunya makhluk hidup yang harus diperhatikan. Tetapi, keadilan juga harus berpihak pada mereka yang mendorong kehidupan manusia karena sebenarnya mereka saling bergantung sama lain.

Manusia selalu memanfaatkan hewan ketika mereka dalam keadaan terasing, misalnya menjadikan hewan sebagai sumber makanan, tenaga kerja, hiburan, dan objek penelitian.

“Kunci utama Critical Animal Studies adalah Intersectionality. Dunia selalu membicarakan banyak perjuangan, seperti kesetaraan gender misalnya, namun tidak membicarakan speciecism,” kata Sorenson.

Manusia dan makhluk hidup lainnya memiliki sentience, dimana mereka dapat memahami dan merasakan; sadar akan sensasi; dan memiliki minat untuk hidup dan menghargai kehidupan. Sorenson menekankan bahwa makhluk hidup tidak hanya manusia saja di dunia ini. Sehingga, makhluk hidup lain pun perlu diperhatikan apabila tidak mendapatkan keadilan.

Dalam perspektif biologi, spesies digunakan sebagai dasar mengklasifikasikan organisme. Membahas relasi antara hewan dan manusia merupakan natural history. Susilohadi, memaparkan banyak gambaran mengenai evolusi hewan (dijelaskan dengan  simpanse) hingga manusia.

“Menurut kami, hewan dan manusia tidak berbeda, mereka berevolusi,” kata Susilohadi.

Kekuasaan evolusionis membuat manusia harus berjuang untuk mempertahankan existensi dan seleksi alam sehingga memunculkan kompetisi. Hewan secara tidak langsung pun mengalami hal yang sama, namun kompetisi yang terjadi tidak sekompleks manusia.

“Letak perbedaan hewan dan manusia adalah pada volume otak, sehingga memengaruhi perilaku mereka,” kata Susilohadi

Relasi negatif yang terjadi antara hewan dan manusia tidak hanya berdampak pada keduanya saja tetapi juga pada lingkungan. Menurut Susilohadi, menciptakan kooperatif yang baik di antara keduanya adalah solusi mengatasi tingginya eksploitasi terhadap hewan. Jika manusia bergantung pada hewan sebagai sumber makanan, maka menciptakan makanan dengan dasar memenuhi kebutuhan hidup dan tidak menciptakan makanan atas dasar gaya hidup akan meminimalisir eksploitasi terhadap hewan.

Semua makhluk hidup memiliki naluri dan keinginan akan kehidupan.

“Mempertimbangkan dan memperhatikan makhluk hidup adalah solusi untuk mempertahankan keadilan bagi makhluk hidup. Perlukah dunia membuat traktat dalam memperjuangka keadilan bagi makhluk hidup?,” kata Susilohadi. (/Pnm)