HI UGM Luncurkan Buku ‘Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia’ karya Samsu Rizal Panggabean

Yogyakarta, 7 September 2018—Hari ini tepat setahun setelah kepulangan Dr. Samsu Rizal Panggabean, staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM. Momentum ini digunakan untuk meluncurkan karya beliau yang bertajuk ‘Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia.’ Ruang Seminar Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Jumat (7/9) dipenuhi peserta dari berbagai kalangan. Beberapa di antaranya bahkan rela berdiri karena tidak kedapatan kursi.

Rizal dikenal sebagai peneliti serta fasilitator binadamai Indonesia. Dirinya pernah menjadi fasilitator pembebasan warga negara Indonesia yang ditawan oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina dengan beberapa pertukaran seperti beasiswa pendidikan kepada anak-anak Abu Sayyaf. Kegiatan peluncuran sendiri ditandai dengan penyerahan buku karya Rizal kepada keluarga yang hadir. Diskusi buku dimoderatori oleh Ayu Diasti Rahmawati, MA, staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional bersama Dr. Diah Kusumaningrum selaku pembicara. Hadir pula Pdt. Jacky Manuputty dan Prof. Dr. Mohtar Mas’oed sebagai pembahas.

Sesuai dengan tajuk buku, fokus diberikan pada konflik, kekerasan, serta perdamaian etnis di Indonesia. Rizal tidak hanya berfokus pada kasus-kasus kekerasan etnis yang terjadi, namun juga pada tempat-tempat tanpa kekerasan etnis. Melalui hal ini, Rizal berupaya menjawab hal-hal apa yang menyebabkan di tempat tertentu kekerasan bisa tidak terjadi. Rizal juga memberikan perhatian pada interaksi strategis, dimana beliau menggarisbawahi bahwa hasil akhir tidak tergantung pilihan diri sendiri namun juga pilihan pihak yang terlibat. Argumen utama yang dibangun oleh Rizal adalah bahwa kota yang diguncang oleh kekerasan etnis memiliki modal sosial lebih rendah.

Buku ini sendiri mengambil sampel beberapa kota di Indonesia, di antaranya dengan menyandingkan Manado dan Ambon serta Solo dan Yogyakarta. Dalam temuannya, terdapat perbedaan yang jelas antara keempat kota tersebut, salah satu pembedanya adalah adanya pengalihan bingkai. Melalui metode meneliti kota secara berpasangan, maka akan ditemukan cerita yang lebih utuh antara satu kota dengan yang lain.

Bersama pusat studi Paramadina, Rizal juga terlibat banyak pelatihan serta workshop yang melibatkan banyak elemen masyarakat. Hal ini kemudian yang menyebabkan temuan penelitiannya semakin komprehensif. “Buku ini diterbitkan karena banyak kebaruan, proses, dan temuan yang sangat spesifik,” ujar Diah Kusumaningrum yang juga merupakan staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional.

Pdt. Jacky Manuputty sebagai pembahas menyebutkan beberapa hal menarik dari buku keluaran sahabat karibnya ini. “Saya melihat satu hal dari kajian buku ini, yaitu adalah keyakinan Mas Rizal bahwa agama ataupun etnis bukan merupakan sumber konflik. Namun sebaliknya, bisa jadi instrumen positif dalam interaksi yang lebih luas,” ujar Pdt. Jacky. Dirinya juga melihat bahwa pendekatan yang dilakukan, yaitu dengan perbandingan berpasangan merupakan hal menarik dalam kajian ini.

Pdt. Jacky juga menyepakati argumen yang diajukan oleh Rizal. “Mas Rizal berada pada keyakinan bahwa masyarakat dan institusi yang melembagakan dialog di ruang publik memiliki ketahanan mempertahankan gesekan agar tidak menjadi kekerasan terbuka,” papar Pdt. Jacky. Ia juga menambahkan bahwa Rizal melihat bahwa perhatian selama ini hanya terpaku pada peristiwa kekerasan. Pemberitaan media seakan melupakan pada peristiwa-peristiwa nirkekerasan, sehingga masyarakat lupa mempelajari bagaimana membangun damai. Bila terjadi perubahan arah sorot, akan timbul pola interaksi dalam ruang sosial yang menunjukkan bahwa masyarakat sebetulnya punya modal sosial yang besar.

Selain itu, Pdt. Jacky juga memberi masukan pada buku ini. “Penelitian ini akan lebih menarik bila waktu dan variabel pembandingnya ditarik lebih luas. Misalnya, mengapa konflik Ambon lebih cepat selesai daripada Poso,” jelas Pdt. Jacky. Dirinya juga menekankan bahwa penelitian ini dapat berperan sebagai rangsangan yang baik untuk masa depan penelitian-penelitian konflik dan perdamaian di Indonesia.

Pembahas kedua, Prof. Dr. Mohtar Masoed turut mengapresiasi kehadiran buku ini. Menurut beliau adanya variabel politik juga penting dalam kajian ini. “Kondisi etnisitas, keagamaan, sosio-ekonomi bisa sama, namun dalam prosesnya terdapat proses politik seperti mobilisasi. Sehingga, hal yang awalnya normal menjadi kurang normal,” papar Prof. Mohtar.

Dalam tulisan pengantarnya untuk buku ini, Prof. Mohtar mengajak hadirin untuk mengapresiasi Rizal. “Saya menulis, bila kita sangat mencintainya, maka jangan berkabung. Ungkapkan terima kasih kita dengan meneruskan dan memperbaiki karyanya. Mari kita teruskan kebiasaannya untuk berpikir merdeka dan merengkuh ketidaklaziman,” kata Prof. Mohtar.

Dengan keanekaragaman etnis dan agama yang ada di Indonesia, tentu kajian studi konflik dan perdamaian betul-betul dibutuhkan di Indonesia. Semoga damai bersama kita semua, seperti yang sering Rizal tuturkan, “bila ingin damai, belajarlah damai.” (/fkm)