MAP Corner May Day: Sistem Tenaga Kerja yang Fleksibel dan Bagaimana Menyikapinya

Yogyakarta, 30 April 2019—“Paradigma ekonomi negara developmentalism didorong oleh faktor eksternal berupa investasi asing menjadi faktor penyebab kebijakan tenaga kerja Indonesia yang semakin fleksibel”, ujar Ari Hernawan, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada, dalam acara MAP corner edisi hari buruh di Fisipol UGM Unit II.

Beliau memulai acara tersebut dengan penjelasan kebijakan tenaga kerja di Indonesia, seperti UU no. 13 tahun 2003 yang alasan dibentuknya adalah untuk memperbaiki iklim investasi dan ekonomi di Indonesia. Negara memiliki kewajiban berperan menjadi pihak ketiga yang bersifat netral dan mengimbangkan antara buruh dan pengusaha, memiliki kepentingan tersendiri yaitu untuk melakukan pembangunan ekonomi.

Paradigma developmentalism yang tercermin dalam trilogi pembangunan Indonesia, menempatkan pertumbuhan ekonomi pada prioritas paling utama. Sehingga negara memiliki tendensi untuk condong pada pengusaha sebagai pihak yang paling produktif dalam mencapai pertumbuhan ekonomi negara.

“Kebijakan dan hukum ketenagakerjaan Indonesia itu masih mengekor pada kebijakan ekonomi negara, ketika investasi asing yang dicari otomatis kebijakan ketenagakerjaannya akan lebih fleksibel,” tuturnya.

Kebijakan tenaga kerja yang fleksibel melahirkan berbagai sistem kontrak kerja yang menempatkan pekerja pada posisi tawar yang rendah, seperti outsourcing dan magang. Sistem tersebut memberikan keleluasaan secara hukum bagi pengusaha untuk memutus hubungan kerja tanpa harus membayar biaya pesangon.

Kemudian diskusi dilanjutkan oleh pemantik kedua, yaitu Arsiko dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia. Menurutnya persatuan dan solidaritas buruh sangat penting untuk meningkatkan posisi dan nilai tawar yang tinggi bagi pihak pekerja.

“Para buruh dan pekerja harus tahu dan paham betul hak-hak mereka yang seharusnya didapatkan, seperti uang transpor, menyediakan makanan yang bergizi, semua itu sudah diatur oleh undang-undang,” ucapnya.

Menurutnya, para buruh sebenarnya sudah paham betul hak-hak mereka namun sering kali cara untuk mendapatkanya yang masih terhambat. Misalnya saja untuk melakukan demo dan mogok ada ketakutan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, walaupun secara hukum merupakan hak mereka.

“Maka dari itu buruh harus mandiri, ketika menuntut dan diputus kontraknya jangan jadi buruh lagi, jadilah pengusaha. Namun pengusaha yang sesuai dengan nilai perjuangan buruh, jangan jadi pengusaha yang menghisap dan mengeksploitasi,” ujar Arsiko.

Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang membahas apakah pekerja sektor informal dan formal perlu diintegrasikan dan mendapat perlindungan dan hak yang sama. Kemudian juga dibahas mengapa negara mendapat tekanan eksternal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menerapkan sistem tenaga kerja yang fleksibel. (AAF)