Melihat Harmoni SDGs Dengan Lokalisasi Pembangunan di Indonesia

Yogyakarta, 6 Desember 2018 – ASEAN Studies Center (ASC) Fisipol UGM mengadakan diseminasi hasil riset bertajuk “From Indonesia To ASEAN: Lesson Learned From The Field” pada Kamis (6/12) di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM.

Selain mempresentasikan hasil riset, Diseminasi ASC di penghujung tahun 2018 ini juga menghadirkan presentasi chapter buku yang berjudul  Localizing SDGs: Assessing Indonesia’ s Compliance toward Global Goals.

Presentasi dibawakan oleh Karina Larasati Bhumiriyanto, peneliti ASC serta co-author  dari buku  Localizing SDGs: Assessing Indonesia’ s Compliance toward Global Goals yang  ditulis oleh Dosen Hubungan Internasional, Dafri Agussalim,dkk yang dimoderatori oleh Harits Dwi Wiratma, Dosen Hubungan Internasional Univeristas Respati Yogyakarta.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertanyaan sejauh mana Indonesia telah memenuhi SDGs dimana keikutsertaan Indonesia sejauh ini dinilai berhasil.

“Lokalisasi ini menyangkut upaya pemenuhan SDGs melalui pemerintah dalam merangkul pemangku kebijakan berserta cara pendekatannya, karena yang membedakan antara SDGs dan MDGs adalah aspek keterlibatan publik untuk mencapai goals secara luas. Pada dasarnya, pemerintah telah berhasil mengupayakan SDGs tapi masih ada poin yang tidak konsisten dengan ide SDGs,“ ujar Karin.

Indonesia adalah salah satu dari negara ASEAN yang berkomitmen mewujudkan SDGs, hal ini terlihat dari adanya kerjasama dengan Bappenas melalui sinkronisasi di RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah).

Sinkronisasi tersebut dilihat dari terwujudnya 108 poin dari total 169 poin target SDGs. Sinkronisasi Melalui RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) tahun 2005-2025 dan SDGs juga telah tercapai. Perbedaannya ada di ranah global dan lokal dimana RPJP lebih spesifik dan rinci.

Selain itu, Indonesia juga berhasil mengeluarkan Peraturan Presiden No.59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs.

“Dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia telah mengurangi angka kemiskinan secara masif. Namun dalam komitmen pelaksanaan SDGs, terdapat kecenderungan UNDP ‘memaksakan’ negara yang terlibat harus melaporkan sesusai standar global, padahal pasti ada perbedaan karakteristik pelaksanaan SDGs di tiap negara,” ujar Karin.

“Akan tetapi walaupun banyaknya poin SDGs yang telah tercapai, implementasi antara SDGs dengan Rencana Pembangunan masih memiliki kelemahan yakni bertabrakannya kedua hal tersebut, contohnya penguatan investasi di Indonesia melalui kelapa sawit tidak konsisten dengan tujuan SDGs tujuan 13 yakni penanganan perubahan iklim,” ujar Karin.

Pada kesimpulannya, Indonesia memang punya komitmen yang kuat dan telah diimplementasikan. Namun ketika dikaji kembali dengan pembangunan yang lebih luas,  SDGs belum menjadi jantung pembangunan di Indonesia.

Hal ini disebabkan oleh kerancuan dan perbedaan di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang jelas memberikan indikasi kompleksitas pembangunan di tingkat nasional yang berdampak pada tidak efisiensinya implementasi.

Presentasi chapter buku pada Diseminasi ASC juga bertepatan dengan diluncurkannya buku ini di Brussels, Belgia oleh Dafri Agussalim, penulis utama yang nantinya secara resmi juga akan turut rilis di Indonesia. (/Afn)