Melihat Potensi E-Sport Yang Lebih dari Sekedar Bermain Gim

Yogyakarta, 2 April 2019 E-sport saat ini sudah tidak bisa dipandang sebelah mata, “Masih banyak yang menganggap bermain gim sama dengan e-sport, padahal e-sport lebih membosankan, tertekan dan sedikit fun,” ujar Simson, ketua IESPA DIY dalam 90°  DigiTalk “The Future of E-Sport in Indonesia” pada Selasa (2/4) berlangsung di Convention Hall Lantai 4 Fisipol UGM.Terkait dengan e-sport, DI Lab (Digital Intellegence Lab) CfDS memiliki perhatian untuk menganalisis popularitas E-sport pada Piala Presiden 2019. Analisis berbasis big-data ini dilakukan oleh Treviliana Eka Putri, Manajer Digital Intellegence Lab, bersama Wava Carissa selaku Asisten Peneliti. Riset ini dilakukan dengan cara mengambil data melalui YouTube dan Twitter pada periode 21 Januari sampai 21 Maret serta media daring lain, kemudian dianalisis menggunakan aplikasi NVivo Library dan Phyton.

Dilihat dari ekosistem industri, e-sport bukan hanya mengenai player dan game, namun juga viewers, publishers, sponsor advertise platform, networks, dan competition. Fenomena perkembangan industri e-sport di Asia Tenggara mencapai 2.216 Miliar Rupiah dimana Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan e-sport paling tinggi. Subscriber dari akun YouTube IESPL ID dan LigaGame Esport ID pun naik secara signifikan.

Berdasarkan jumlah download gim kompetisi, e-sport mengalami peningkatan dari tahun 2017 hingga 2018 dimana Mobile Legend menempati urutan tertinggi dengan pemain aktif terbanyak. Dilihat dari gawai yang digunakan, gim ponsel secara signifikan mengalahkan gim konsol dan gim komputer sejak 2012.

Simson Nababan, ketua Indonesia e-Sport Association Provinsi D.I.Yogyakarta pun menerangkan perkembangan esport di Indonesia, “Sebenarnya e-sport sudah lama ada namun kurang terdengar, mulai dikenal ketika gim point blank masuk”. “Pada tahun 2001, komunitas e-sport di DIY hanya berjumlah 12 dan gim yang dimainkan mengikuti perhelatan World Cyber Game yakni StartCraft dan Counter Strike” tambah Simson.

“Pada zaman itu gim masih memiliki konotasi negatif dan belum mengenal istilah e-sport, hal ini dikarenakan pemainnya sering dianggap bermasalah serta hardware device-nya yang mahal. Berbeda dengan sekarang, yang pakai device bisa dibawa kemana-mana,” ujar Simson. Menurutnya, potensi besar dari e-sport sudah lama diketahui sejak tahun 2016 hingga 2017.

Selanjutnya Hasyim Muhammad, atlet professional pemain e-sport dari Klub Reverend yang berasal dari Riau memulai karir awal profesional di gim DOTA sejak tahun 2012. Karir ini ia bangun melalui peraihan ranking demi ranking untuk menentukan pemain terbaik. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pada tahun 2018 ia resmi masuk pro tim.

Bagi Hasyim, membedakan seorang pemain gim biasa dengan atlet e-sport adalah soal keseriusan. “Pemain pro itu fokus sedangkan kalau pemain biasa mengejar fun doang yang ketika kalah langsung selesai, untuk atlet sendiri butuh latihan minimal 5 jam sehari terutama mengasah kekompakan dalam tim,” ujar Hasyim yang mulai bermain DOTA sejak di bangku kelas 3 Sekolah Dasar.

Prospek profesi sebagai atlet e-sport juga menjanjikan, setelah pesiun atlet biasanya akan menjadi pelatih ataupun manajer pelatih tim. Hasyim pun pernah memberi pernyataan perlunya jurusan e-sport dalam perguruan tinggi, urgensinya adalah potensi dan momentum e-sport yang sedang naik-naiknya, di Korea Selatan pun sudah ada jurusan sarjananya.

Harapannya, untuk mendukung dan meningkatkan e-sport di Indonesia, kompetisi turnamen lokal akan diperbanyak, dan mengajak developer lokal untuk mengembangkan gim e-sport.

Dalam waktu mendatang, Kemenpora akan menjadikan cabang e-sport di SEA Games dengan jenis PC, console, dan mobile games. Nantinya, untuk masuk e-sport akan ada pelatnas kejuaraan nasional dengan usia minimal 16 tahun. (/Afn)