Memahami Kekuatan Ekonomi Politik Internasional Dalam “Regional Colloquium of East Asia: Review on Economy and Development in Japan, China, and South Korea”

Yogyakarta, 14 September 2018 – Sejak tiga dekade lalu, Jepang, Cina, dan Korea Selatan tetap menjadi kekuatan ekonomi di bidang ekonomi politik internasional. Kemampuan tiga serangkai untuk menumbuhkan modernisasi dan kemakmuran di negara mereka masing-masing dalam waktu yang relatif singkat telah mengagetkan komunitas internasional. Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM mengangkat topik tersebut dalam “Regional Colloquium of East Asia: Review on Economy and Development in Japan, China, and South Korea.” Pada Jumat (14/9) di Seminar Timur Fisipol UGM yang menghadirkan Dr. Hideaki Ohta selaku dosen Departemen Hubungan Internasional di Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro selaku dosen Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM, dan Dr. Suray Agung Nugroho selaku dosen Bahasa Korea Fakultas Ilmu Budaya UGM.  Acara ini dimoderatori oleh Siti Daulah Khoriati M.A selaku dosen Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM.Drs. Riza Noer Arfani, MA., selaku  Direktur Insitute of Internasional Studies Fisipol UGM membuka acara dengan  mengucapkan selamat datang kepada Dr. Hideaki Ohta yang telah meluangkan waktunya untuk hadir di Indonesia serta berharap dapat mengadakan kolokium secara rutin kedepannya.

Dr. Hideaki Ohta membuka pemaparan materi  mengenai perkembangan ekonomi politik Jepang sejak satu dekade yang lalu meliputi kegagalan neo-liberalisme di Jepang serta tekanan Amerika Serikat (AS) terhadap kebijakan ekonomi  Jepang. “Neo-liberalisme di Jepang yang dipelopori oleh Yasuhiro Nakasone, perdana menteri ke-45, menyebabkan sistem ekonomi Jepang berubah menjadi struktur ekonomi tipe AS dan memperburuk distribusi pendapatan dan pertumbuhan,” ujar Ohta. Sejak 1980, Jepang mulai membuat kebijakan dibawah  pengaruh AS yang  menjadikan perusahaan AS  mendapat posisi dominan di pasar Jepang yakni melalui Structural Impediments Initiative (SII) pada tahun 1980–1991, Miyazawa-Clinton Agreement pada tahun 1994, Japan-US Derrugelation Dialogue pada 1997 serta US-Japan Regulatory Reform and Competition Policy Initiative pada 1994–2008. Melalui kasus tersebut, Ohto memberikan empat rekomendasi kebijakan. Pertama, reformasi kebijakan umum dari neo-liberalisme menjadi kebijakan kesejahteraan atau egalitarian. Kedua, reformasi dalam kebijakan pajak mengubah kebijakan liberalisasi atau derregularisasi di pasar tenaga kerja untuk menaikkan tingkat upah yang akan meningkatkan laju pertumbuhan. Ketiga, meningkatkan pengeluaran pendidikan untuk mengatasi ketiadaan pendapatan dan terakhir menanggulangi penurunan frekuensi dengan mengubah arah kebijakan secara keseluruhan dengan berhenti mematuhi permintaan AS secara berlebihan.

Selanjutnya, perkembangan ekonomi politik Cina dibawakan oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro. “Perkembangan ekonomi di Cina dipengaruhi oleh penggambaran aktor pemimpin di masanya,” ujar Rachmat. Hal ini dipertegas dengann pernyataan pemimpin seperti Mao Zedong, yang mengartikan perkembangan dengan “Hanya orang-orang yang menjadi kekuatan pendorong di balik penciptaan sejarah dunia”, juga Deng Xiaopin dengan  “Pembangunan adalah prinsip mutlak” serta Xi Jinping bahwa “Kebahagiaan diperoleh melalui kerja keras”.

Ekonomi Cina saat ini yang berupa reformasi dan pembukaan sosialisme dengan karakteristik Cina di era baru menghasikan perkembangan, yakni semenjak 1978 sampai 2017 sebanyak 740 juta orang Cina pedesaan telah terangkat dari kemiskinan atau sekitar 199 juta per tahun, 3,2 miliar yuan barang yang dijual secara internasional serta sejak reformasi dimulai, GDP Cina telah meningkat selama 224 kali. Meskipun masalah lingkungan masih menjadi agenda utama dalam pembangunan di Cina.

Terakhir, perkembangan ekonomi politik Korea Selatan dibawakan oleh Dr. Suray Agung Nugroho yang memfokuskan pada industri ekonomi kreatif Korea Selatan berupa ranah hiburan. “Kita menikmati produksi entartaimen dari negara yang sebenarnya dalam keadaan perang, dimana sangat mustahil bisa kita rasakan ketika kita mendengar hiburan dari Suriah, Irak, dan lainnya,” ujar Suray. Korean Wave atau yang sering disebut hallyu telah menjadi fenomena global, Korean wave sendiri telah menjadi soft power bagi Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan berusaha mempertahankan tahta emas korean wave sebagai negara penghasil kultur pop paling dikenal di abad 21. “Bahkan, istilah K-Wave sendiri mungkin nantinya akan berubah menjadi K-Tsunami seiring makin mengglobalnya budaya K-Pop,”  ujar Suray yang diiringi riuh tertawa audiens. “Padahal, sebagaimana nasi campur Korea– Bimbimbap–budaya Korea merupakan hasil dari budaya campuran yang dikombinasikan dengan selera western seperti hip hop dan R&B. Hal ini dilakukan untuk memikat hari masyarakat global,” tutur Suray.(/Afn)