Memahami Lethal Autonomous Weapons Systems sebagai Dasar Gerakan Campaign Stop Killer Robots

Yogyakarta, 28 November 2019— Institute of International Studies menggelar diskusi bertajuk Coffee Talk on Killer Robots dengan menghadirkan pembicara Sugeng Riyanto Dosen HI UMY, M. Rifqi Muna Peneliti LIPI dan dimoderatori oleh Yunizar Adiputera Dosen HI UGM di Digilib Cafe Fisipol Kamis lalu.

Perkembangan senjata yang didorong oleh kemajuan teknologi kini mengkhawatirkan dunia. Kecanggihan miskroskopis teknologi kini ikut berperan dalam perkembangan persenjataan dunia. Salah satu persenjataan itu adalah Lethal Autonomous Weapons Systems (LAWS). LAWS adalah senjata yang dapat memilih, mendeteksi, dan melibatkan target dengan sedikit atau tanpa campur tangan manusia. Meskipun tidak ada definisi yang berlaku tentang LAWS, istilah ini biasanya mencakup beragam sistem senjata potensial, mulai dari senjata otonom sepenuhnya yang dapat melancarkan serangan tanpa keterlibatan manusia hingga senjata semi-otonom yang memerlukan tindakan manusia yang tegas untuk menjalankan misi.

Kekhawatiran yang muncul adalah ketidakyakinan terhadap akurasi kebenaran terhadap target, karena disetiap kecanggihan teknologi tetap saja terdapat celah kegagalan dan ketidakakuratan yang menyebabkan korban salah sasaran. Kekhawatiran ini kemudian mendorong munculnya “Campaign Stop Killer Robots”.

LAWS berkembang dengan mengadopsi kecanggihan robot dan Artificial Intelligence. Ia seolah dididik seperti tentara, dapat mencari targetnya sendiri tanpa perintah dari siapapun dia akan mengeksekusi targetnya.

“LAWS adalah robot yang ditanamkan kecerdasan AI, untuk menjadi tentara tanpa perintah secara langsung, Ia hanya diprogram saja kemudian dia bisa mengenali kombatannya,” kata Sugeng. Mengapa saat ini sudah mulai ada Negara yang mengembangkan senjata ini?

Keunggulan LAWS adalah proteksi terhadap pengguna, akurasi tinggi, biaya lebih rendah, dan jelajah lebih luas. Beberapa keunggulan tersebut menjadi sebuah pertimbangan dalam penerapan LAWS sendiri. Keunggulannya sebagai persenjataan yang memerlukan biaya lebih rendah kemudian memunculkan adanya faktor political cost didalamnya, Ia berperan mengubah kalkulasi political cost.

Sugeng menuturkan bahwa tetap terdapat dampak negatif dalam Killer Robots ini, diantaranya adalah setiap mesin selalu mengandung potensi kerusakan, setiap senjata selalu berpotensi mengalami proliferasi, kaburnya subjek hukum, ketidakseimbangan perang, dan menggeser norma kemanusiaan.

“Kaburnya subjek hukum menjadi salah satu dampak yang harus diatasi dengan jeli, ketika Robots mengalami kerusakan, atau salah mengeksekuis kombatan, sehingga memakan korban yang tidak bersalah. Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Robotnya? Komandannya? atau Progammer-nya?,” ujar Sugeng.

Pergeseran kemanusiaan kemudian muncul seiring dengan berkembangnya killer robots. Hal ini dikarenakan menyerahkan eksekusi atas nyawa manusia kepada robot. Sehingga, tidak ada lagi campur tangan psikologis dan naluri manusia dalam mengeksekusi nyawa kombatan. Untuk itu, semakin meningkatnya teknologi juga perlu diiringi dengan peningkatan humanities pula.

“Pernah ada kejadian di akhir tahun 1960an, monitor nuklir milik Russia menunjukkan bahwa ada peluncuran nuklir dari AS ke negaranya. Tetapi, ketika itu manusia masih dapat mengontrol mesin tersebut sehingga tidak melakukan serangan balik. Karena pada masa itu, hubungan AS dan Russia tidak sedang berperang, ini juga menjadi contoh bahwa secanggih apapun mesin, tetap memiliki celah kerusakan dan kegagalan. Inilah yang dimaksud kehilangan sisi humanitiesnya. Killer Robots tidak akan memahami konteks sosial politik pada saat terjadi kerusakan, maka Ia akan meluncurkan nuklis ke AS pula. Maka, akan memakan korban yang tidak seharusnya menjadi korban,” ujar Rifqi.

Dari beberapa dampak negatif dan kekhawatiran yang muncul kemudian memunculkan pergolakan di negara negara tertentu. Yang dapat dilakukan oleh negara negara kecil seperti Indonesia adalah mendorong Kementria Luar Negeri untuk mengambil posisi sebagai negara yang menolak produksi dam penggunaan Killer Robots sebagai senjata peperangan. “Pergolakan penolakan terhadap penggunaan Killer Robots juga harus didukung oleh pemerintah dari bagian manapun untuk membuat regulasi yang kuat atas ini,” ujar Rifqi. (/pnm)