Mengkritisi Narasi Capres tentang Kebijakan di Bidang Pemerintahan dan Hankamnas  

Yogyakarta, 11 April 2019— Seperti yang diketahui sebelumnya, Dekan Fisipol UGM telah diundang menjadi salah satu tim panelis di Debat Pilpres Ke-4 pada Maret lalu. Momen ini dimanfaatkan oleh DEMA Fisipol UGM untuk mengadakan program Diskusi Dialektika #3 dengan tema Mengkritisi Narasi Capres tentang Kebijakan di Bidang Pemerintahan dan Hankamnas.

Acara ini diselenggarakan pada Kamis (11/04) di Selasar Barat Fisipol UGM dan turut mengundang  Erwan Agus Purwanto, Dekan Fisipol UGM, dan Yunizar Adi Putra, Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM sebagai pembicara.

“Isu yang dibahas disini merupakan isu yang sangat substansial dengan mahasiswa Fisipol,” kata Kintansari Kepala Divisi Kajian Strategis DEMA Fisipol UGM.

DEMA Fisipol  bermaksud untuk memberikan ruang terbuka bagi mahasiswa yang ingin mengkritisi argumen para paslon presiden dan wakil presiden mengenai isu tersebut dan dijawab langsung oleh panelis debat yaitu Erwan Agus Purwanto.

“Selain memberikan ruang terbuka bagi teman – teman mahasiswa untuk kritis, menurut kami, ada isu yang perlu dikonfirmasi juga terkait dengan anggaran dana militer, efisiensi birokrat dan lain-lain. Sehingga teman – teman dapat menentukan pilihannya dengan tepat,” kata Pamungkas Pimpinan DEMA Fisipol Bidang Keilmuan dan Kajian Strategis.

Sebagai panelis debat capres, Erwan mengungkapkan bahwa kedua capres memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami pemerintahan.

Erwan pun memaparkan beberapa isu yang diajukan oleh panelis untuk calon presiden, yaitu; bagaimana cara mengelola pemerintahan yang efektif, reformasi birokrasi, maraknya korupsi politik yang tinggi, kabinet yang bersih dari partai politik, lembaga pengawasan, efektifitas pengelolaan kabinet, dan smart government. Dari semua isu yang ditawarkan diatas, smart government menjadi isu yang terpilih.

“Kedua capres memiliki argumen yang berbeda dalam menanggapi isu smart government. Menurut, Prabowo, teknologi bukanlah suatu hal yang penting, yang terpenting adalah bagaimana tujuan dapat tercapai. Sedangkan, bagi Jokowi, teknologi merupakan hal yang penting karena dapat mengefisienkan dalam meraih tujuan,” kata Erwan.

Yunizar, sebagai pengamat mengungkapkan bahwa hasil debat kemarin tidak maksimal. Menurutnya, informasi yang diperoleh masyarakat terkait visi misi kedua capres melalui debat sangatlah minim.

“Minimnya informasi yang diperoleh masyarakat disebabkan oleh formasi debat yang terbatas. Menurut saya, minimnya kemampuan public speaking yang dimiliki oleh kedua capres pun menjadi salah satu faktornya. Bagaimana bisa visi misi keduanya dapat diterima dan berjalan apabila pemimpin tidak bisa mengartikulasikan dengan baik,” kata Yunizar

Pembahasan mengenai hankam dalam debat capres pun dirasa bersifat undimensional. Fokus pertanyaannya hanya sebatas kuat atau tidaknya hankamnas saat ini.

“Yang seharusnya dipaparkan adalah bagaimana bentuk ancamannya. Prabowo sudah memaparkan hal itu, namun belum mengelaborasi dengan bahasan siapa yang mengancam. Sedangkan, Jokowi hanya memaparkan apa yang sudah dilakukan pemerintah dalam melawan ancaman tersebut,” kata Yunizar.

Adanya ancaman tidak selalu disikapi dengan meningkatkan kemampuan dalam memusnahkan ancaman tersebut, karena dengan hanya melakukan hal itu saja justru meningkatkan ancaman.

“Ancaman yang perlu dibahas di era modern ini adalah cyber crime. Era modern ini mendorong manusia bertindak kreatif dalam hal apapun termasuk kejahatan cyber,” kata Yunizar. (/pnm)