Meninjau Relevansi Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia : Perayaan ke-70 tahun Politik Bebas Aktif, Masih Relevan?

Yogyakarta, 5 September 2018—Kementerian Luar Negeri, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), dan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) menggelar sebuah konvensi bertajuk ‘Meninjau 70 Tahun Politik Bebas Aktif Indonesia’ pada Rabu (5/9). Konvensi yang diselenggarakan di Balai Senat Rektorat UGM ini dimaksudkan untuk memperingati 70 tahun politik bebas aktif Indonesia. Dimana tepat pada 2 September, 70 tahun silam Wakil Presiden Indonesia, Drs. Moh.Hatta dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat merumuskan kerangka politik luar negeri Indonesia yang dikenal sebagai ‘Politik Bebas Aktif.’ Dalam kerangka kebijakan ini, Indonesia tidak hanya mengedepankan netralitas, namun juga memiliki tujuan untuk memperkukuh dan menegakkan perdamaian dunia.Dalam konvensi ini, turut hadir Dr. A.M. Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, selaku keynote speaker. Dalam sesinya, Wamenlu A.M. Fachir menjelaskan beberapa poin penting esensi pidato Bung Hatta. “Pertama, apakah kita harus memilih diantara dua blok? Lalu, kedua, sebagai sebuah bangsa, kita jangan menjadi objek dalam pertarungan internasional. Terakhir, kita harus menjadi subjek yang berhak menentukan sikap dan tujuan kita sendiri,” ujar Wamenlu A.M. Fachir. Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia konsisten dengan kebijakan politik bebas aktif dan terus melakukan kontribusi. Diantaranya dengan beragam inisiatif seperti pengadaan Konferensi Asia Afrika (KAA), menjadi salah satu inisiator Association of South East Asia Nations (ASEAN), dan lain-lain.

Dalam relevansi politik bebas aktif saat ini, Wamenlu A.M Fachir mengatakan bahwa kebijakan ini masih amat relevan. “Dalam dunia yang dinamis dan dipenuhi dengan perebutan kepentingan seperti saat ini, kebijakan politik bebas aktif masih relevan. Hal ini karena politik bebas aktif bermakna dapat memutuskan nasib sendiri dalam mencapai cita-cita bangsa, bukan hanya sekedar memilih antara dua blok,” jelas Wamenlu A.M Fachir.

Menyoal arah politik bebas aktif selanjutnya, Wamenlu A.M Fachir berharap agar konsep ini bisa dibawa pada ranah yang lebih tinggi. “Mari kita bawa konsep ini ke jenjang selanjutnya, yaitu dalam tataran akademis dengan menjadi school of thought serta menjadi intellectual property rights dari Indonesia,” ungkapnya.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang dimoderatori oleh Dr. Siti Mutiah Setiawati, dosen pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. Diskusi panel ini diisi oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, guru besar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM dan Wildan Sena Utama, S.S., M.A.

Dengan judul materi ‘“Bebas Aktif”: Politik Luar Negeri Normatif’, Prof. Mohtar menjelaskan mengenai dimensi normatif dari politik luar negeri bebas aktif yang dicanangkan oleh Moh. Hatta. Dikatakan normatif, karena basis dari kebijakan ini merupakan nilai dan norma, bukan semata-mata mencari kepentingan politik. Nilai ini merupakan nilai dan norma yang dianut oleh para pemimpin dan cara pandang mereka tentang dunia. Hal ini dapat direfleksikan dari kutipan Moh. Hatta terkait peran Indonesia dalam hubungan internasionalnya. Dimana dalam partisipasinya, Indonesia mendasari keterlibatannya atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. “Selain itu Moh. Hatta juga mengatakan bahwa perhubungan internasional yang berdasar rasionalisme ekonomi harus diganti dengan dasar perikemanusiaan dan ekonomi,” papar Prof. Mohtar.

Prof. Mohtar melanjutkan bahwa politik luar negeri bebas aktif versi Moh. Hatta memiliki dimensi normatif. “Pertama, Moh.Hatta mengembangkan politik luar negeri ‘bertetangga baik’ untuk mencari teman, kedua, mendukung lingkungan regional dan internasional yang baik melalui organisasi multilateral, dan terakhir tidak semata-mata mencari kepentingan,” jelas Prof. Mohtar.

Pemateri selanjutnya adalah Wildan Sena Utama, S.S., M.A., dosen pengajar Departemen Ilmu Sejarah UGM. Menurut Wildan, gagasan politik bebas aktif dibentuk oleh dimensi historis-politik dan juga dimensi sosio-humanis. Dimana konteks historis-politik dipengaruhi oleh situasi dunia saat itu yang sedang dalam era kolonialisme dan Perang Dingin. Sedangkan dalam dimensi sosio-humanis, aspek yang mempengaruhi adalah ide mengenai kemerdekaan, kesetaraan, dan saling menghargai. “Dari kedua dimensi ini, dapat dilihat bahwa politik bebas aktif melambangkan asal-usul identitas sekaligus cita-cita ideal tatanan global yang diimpikan oleh Indonesia di masa depan, yaitu dunia yang merdeka, saling menghargai, dan damai,” papar Wildan.

Wildan juga menyinggung penerapan kebijakan politik bebas aktif di era Presiden Joko Widodo. Dimana visi politik bebas aktif Presiden Joko Widodo dimaktubkan dalam Nawacita dan Renstra Kemenlu 2015-2019 yang di dalamnya mengatur mengenai diplomasi ekonomi, perlindungan WNI, kedaulatan dan pertahanan nasional, poros maritim, diplomasi maritim, kepemimpinan ASEAN, serta peningkatan peran internasional.

Konvensi diakhiri dengan sesi tanya jawab dan diskusi dengan peserta. Setelah konvensi, dilangsungkan lokakarya untuk dosen Ilmu Hubungan Internasional seIndonesia. Lokakarya ini bertujuan sebagai penyusunan kurikulum pengajaran politik luar negeri Republik Indonesia. (/fkm)