Merespon Krisis Kebijakan dan Koordinasi Buruk Pemerintah dalam Menangani Pandemi Covid-19, Fisipol UGM Keluarkan Policy Brief

Merespon kebijakan pemerintah di masa pandemi Covid-19, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM mengadakan Serial Diskusi bertajuk “Penanganan Krisis Covid-19”. Acara tersebut terdiri dari enam diskusi dengan tema yang berbeda. Pada Serial Diskusi #1 dan #2, tema yang diangkat secara berurutan ialah “Dinamika Kebijakan Krisis Covid-19” dan
“Covid-19 & Krisis Koordinasi”. Masing-masing diskusi menghasilkan policy brief berisi rekomendasi kebijakan sesuai tema yang diangkat. Adapun diskusi dapat diakses secara daring melalui akun resmi Fisipol UGM pada kanal Youtube, Spotify, dan website.Pada Serial Diskusi #1, hadir Erwan Agus Purwanto (Dekan Fisipol UGM), Wahyudi Kumorotomo (Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM), dan Ambar Widaningrum (Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM) sebagai narasumber. Ketiganya berfokus membahas kebijakan yang perlu diambil pemerintah di tengah krisis Covid-19.

Krisis Kebijakan

Sejak penetapan Covid-19 sebagai bencana wabah nasional oleh Presiden Joko Widodo pada Sabtu (14/03/20) lalu, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan berskala nasional. Kebijakan tersebut antara lain adalah penetapan kelembagaan serta penanganan wabah dalam kerangka tanggap darurat bencana di bawah kendali BNPB, kebijakan alokasi keuangan, serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketiganya dilakukan pemerintah guna mengurangi dampak buruk krisis Covid-19 di bidang sosial-ekonomi.

Meskipun begitu, kegita narasumber menyebut bahwa pada kenyataannya, cepatnya penyebaran Covid-19 menyebabkan terjadinya “krisis kebijakan yang kompleks”, yang karenanya, muncul sejumput permasalahan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Menurut ketiga narasumber, terdapat empat permasalahan utama yang melatarbelakangi krisis tersebut.

Pertama, sikap pengabaian dan kepercayaan diri berlebih pejabat pemerintah dalam merespon ancaman Covid-19 ketika pertama kali menyebar di Wuhan, Cina. Kedua, absennya kepemimpinan kebijakan, ditunjukkan dengan tidak jelasnya pesan kebijakan pemerintah ke masyarakat dan pernyataan para pejabat yang sering bertolak belakang. Ketiga, miskinnya koordinasi antarlini pemerintahan serta tidak adanya sinergitas kebijakan, sehingga berujung pada fragmentasi penanganan krisis di tingkat pusat maupun daerah. Akibatnya, nuansa politisasi atas krisis Covid-19 muncul di tengah masyarakat. Keempat, minimnya ketersediaan sumber daya dan infrastruktur dalam menangani krisis, terutama pengadaan alat-alat pokok kesehatan.

Rekomendasi Kebijakan: Continuous Policy Learning

Guna mengatasi—sekaligus menebus—permasalahan di atas, pemerintah hendaknya sesegera mungkin mengeluarkan kebijakan responsif dalam menangani krisis, menyusul semakin merebaknya Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia. Untuk itu, ketiga pembicara, bekerja sama dengan dua dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM (Wawan Mas’udi dan Azifah R. Astrina) merumuskan beberapa rekomendasi kebijakan seperti di bawah ini:

  1. Kebijakan Berbasis Science dan Evidence

Mengingat pandemi yang terus berlangsung, diperlukan kebijakan baru untuk melakukan penyesuaian terhadap situasi krisis yang berkembang. Dengan semakin banyaknya akumulasi pengetahuan atas Covid-19 yang tersedia, pemerintah perlu mendasarkan pilihan-pilihan kebijakan pada science dan data-data kontemporer yang relevan. Proses policy learning semacam ini membuat kebijakan penanganan krisis Covid-19 lebih terarah.

  1. Kanal Kebijakan yang Terintegrasi

Suatu kebijakan akan efektif jika tertransmisi secara utuh dari lini atas ke lini bawah pemerintahan, termasuk masyarakat. Adapun karakter kebijakan fragmented sebagaimana tersaji dalam tahap awal penanganan krisis Covid-19 masih belum jelas. Untuk itu, dibutuhkan satu kanal kebijakan terintegrasi yang menyambungkan semua lini stakeholders. Dengan demikian, akan ada interpretasi kebijakan di antara multi-aktor dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Selain itu, keberadaan kanal kebijakan juga dapat membangun public trust terhadap sistem penanganan krisis Covid-19.

  1. Sistem Koordinasi Rutin dan Sinergi Antaraktor

Penanganan krisis Covid-19 adalah pekerjaan yang melintasi sekat-sekat kementerian, sektor, dan level pemerintahan. Untuk itu, pemerintah perlu menempatkan krisis sebagai common agenda yang bebas dari kepentingan jangka pendek kelompok maupun perorangan. Pengembangan sistem koordinasi dan sinergi ini bisa dikendalikan oleh BNPB yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, sebagaimana amanat UU Kebencanaan. Dengan adanya sistem tersebut, fragmentasi kebijakan dan respon atas krisis bisa diredam, sehingga implementasi kebijakan akan berada dalam langgam yang sama.

  1. Identifikasi Sumber Daya dan Infrastruktur Berbasis Wilayah

Mengingat kemungkinan penyebaran Covid-19 yang masih akan berlangsung dalam beberapa bulan ke depan, kesiapan sumber daya dan infrastruktur harus segera diletakkan dalam kerangka kewilayahan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan. Identifikasi atas kapasitas sumber daya dan infrastruktur wilayah/daerah menjadi agenda mendesak, berikut kesiapan skenario penyediaan dan sistem mobilisasinya. Dengan langkah semacam ini, setiap wilayah/daerah akan memiliki kesiapan untuk menghadapi kemungkinan terburuk: merebaknya Covid-19 secara masif.

Hal serupa terjadi di Serial Diskusi #2. Hadir sebagai narasumber, dua dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Purwo Santoso dan Cornelis Lay, berfokus membahas pentingnya koordinasi antarlini pemerintah dalam penanganan krisis Covid-19. Perlu diketahui, koordinasi yang kuat dan menjadi mentalitas para pemegang otoritas merupakan poin fundamental dalam menangani krisis. Dalam hierarki kekuasaan, koordinasi hendaknya berlangsung secara top-down maupun bottom-up, serta tak hanya ditempatkan sebagai terminologi teknokratik.

Krisis Koordinasi

Purwo dan Cornelis menilai, cepatnya penyebaran Covid-19 di Indonesia belum diimbangi oleh koordinasi yang baik di antara institusi pemerintah.

“Hal tersebut berdampak pada lemahnya penanganan krisis Covid-19,” Kata Purwo.

Sebagaimana yang dibahas ketiga narasumber dalam Serial Diskusi #1, Purwo dan Cornelis juga membahas tiga permasalahan utama yang melatarbelakangi buruknya koordinasi penanganan krisis Covid-19 oleh pemerintah.

Pertama, absennya koordinasi sebagai mindset tata kelola, ditunjukkan dengan tidak adanya kelincahan koordinasi institusi pemerintahan untuk bergeser dari kondisi normal ke kondisi krisis. Kedua, kontestasi dan miskoordinasi antaraktor pemerintahan, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, instansi maupun pejabat pemerintahan seringkali mengeluarkan statemen yang tidak sinkron dengan garis penanganan krisis. Sementara secara vertikal, masih banyak daerah yang mengambil inisiatif di luar jalur koordinasi pemerintahan. Ketiga, diskoneksi antara kebijakan pemerintah dan inisiatif masyarakat yang menimbulkan kebingungan publik. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan institusi mana yang bertanggung jawab menangani krisis dan langkah yang harus diambil masing-masing pihak.

Rekomendasi: Fondasi Koordinasi Krisis

Untuk itu, masih bekerja sama dengan Wawan Mas’udi dan Azirah R. Astrina sebagai perumus, Purwo dan Cornelis memberikan beberapa rekomendasi guna menguatkan koordinasi antarlini pemerintah dalam menangani krisis Covid-19, seperti yang tertera di bawah ini:

  1. Penegasan Mindset Kemanusiaan dalam Koordinasi Krisis

Dalam penanganan krisis, kemanusiaan adalah fondasi nilai yang krusial. Artinya, dalam tata kelola krisis, keselamatan dan nyawa manusia adalah prioritas utama. Untuk itu, perlu penegasan visi dari para pejabat pemerintahan, bahwa kemanusiaan menjadi pertimbangan utama dalam sistem koordinasi krisis untuk menangani Covid-19.

  1. Coordinated Flexibility dalam Pembagian Peran dan Kewenangan

Situasi krisis Covid-19 yang terus berkembang membutuhkan fleksibitas kebijakan dan tindakan-tindakan di lapangan, mengingat keadaan telah beralih dari kondisi normal ke krisis. Masing-masing institusi hendaknya tidak dibiarkan mengambil langkah-langkah mandiri karena akan melahirkan situasi tata kelola yang anarkis. Selain itu, mengingat luasnya wilayah Indonesia, penanganan masing-masing wilayah terhadap krisis bisa jadi berbeda. Untuk itu, diperlukan fleksibilitas kebijakan untuk melakukan adjustment kewenangan dari waktu ke waktu, di bawah sistem kendali yang koordinatif.

  1. Inkorporasi Komunitas dalam Garis Koordinasi

Meluasnya krisis Covid-19 dapat berujung pada ketidakmampuan negara mengatasi dampak buruk yang timbul. Sementara itu, di luar konteks kenegaraan, tersebar berbagai kapasitas yang mampu bergerak secara sukarela untuk berkontribusi menangani krisis. Kapasitas tersebut tersebar di berbagai komunitas masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Untuk itu, pemerintah hendaknya mengembangkan model koordinasi yang meng-inkorporasi-kan keterlibatan berbagai kekuatan sosial (RT/RW, komunitas berbasis identitas, NGO, bisnis, dll.) dalam penanganan krisis Covid-19.

Lewat berbagai rekomendasi yang dihasilkan melalui Serial Diskusi #1 dan #2 sebagaimana yang tertera di atas, Fisipol UGM berharap pemerintah dapat memperbaiki langkah penanganan krisis Covid-19 guna meminimalisasi dampak buruk yang bisa timbul kapan saja. (/Snr)