Pencitraan di Era Digital : Berguru Kepada Ndorokakung dan Gusmul

Yogyakarta, 29 Agustus 2018-Pencitraan diri di dunia maya dapat dipahami sebagai strategi di era digital untuk membentuk citra diri kita. Namun, bagaimana cara membentuk citra diri tersebut? Pertanyaan ini kemudian menjadi fokus bahasan dalam “90⁰ Digitalk : Membentuk Pencitraan di Era Digital” yang diselenggarakan oleh Center for Digital Society (CfDS) UGM pada Rabu, 29 Agustus 2018.

Bertempat di Convention Hall FISIPOL UGM, Digitalk kali ini dibuka oleh Fahreza Daniswara selaku perwakilan dari CfDS sekaligus moderator dalam diskusi siang itu. Fahreza lantas memperkenalkan Wicaksono, pembicara yang merupakan digital curator, content creator, dan advisor di perusahaan konsultan komunikasi Maverick. Wicaksono juga merupakan alumni Departemen Ilmu Komunikasi UGM ini, yang lebih dikenal dengan nama “NdoroKakung” dan dijuluki sebagai “the grandfather of Indonesia’s social media” akibat berbagai kegiatan aktifnya di dunia maya sejak lama. Selain Wicaksono, diskusi juga diisi oleh materi dari Agus Mulyadi, atau akrab disapa Gusmul, selaku pemimpin redaksi Mojok.co dan content creator Gardamaya.com. Kendati sempat dikenal sebagai “tukang edit foto” akibat kepopuleran foto-foto bersama artis dan tokoh terkenal hasil suntingannya, Gusmul kini juga lebih dikenal sebagai blogger aktif dan penulis yang telah banyak menerbitkan karya.

Mengawali sesi pemaparan materinya, Wicaksono melemparkan pertanyaan-pertanyaan pemantik kepada peserta diskusi, menampilkan beberapa profil media sosial para tokoh masyarakat seperti Presiden Joko Widodo dan Prabowo, serta menanyakan impresi para peserta dari unggahan tokoh-tokoh tersebut di internet. Wicaksono lantas mengungkapkan pentingnya membentuk citra diri di era digital, yang menurutnya mampu menjadi aspek pembeda dan keunggulan atau keunikan seseorang dari orang-orang lain yang memiliki identitas dan kualifikasi yang tidak jauh berbeda dengan orang tersebut. Tak hanya itu, beliau juga menjabarkan manfaat lainnya yang dapat diperoleh dari pembangunan citra diri tersebut; antara lain meningkatkan kepercayaan diri, meningkatkan kredibilitas dan personal value, membedakan diri kita dari orang lain, memperluas jaringan, dan menarik perhatian khalayak sasaran.

Wicaksono menjelaskan bahwa kita harus mampu menonjolkan autentisitas citra dan identitas kita. Tak hanya itu, dibutuhkan pula konsistensi dalam membentuk citra seperti apa yang hendak kita bangun, selain tentu saja pertimbangan atas narasi, keahlian, visibility, dan value proposition dalam proses tersebut. Terakhir, kemampuan untuk menyebarluaskan citra kepada jejaring seluas-luasnya melalui keaktifan membuat konten di berbagai platform yang kita miliki, juga menjadi kunci dalam mempertahankan citra diri yang telah kita bangun di dunia digital tersebut.

Gusmul, justru lebih menekankan bahwa citra diri sendiri dapat muncul secara alami maupun diupayakan atau dibentuk secara sengaja, dari pengalaman hidup yang ia ceritakan dalam sesi pemaparannya. Gusmul mengisahkan citranya sebagai “tukang edit foto” yang sempat membuatnya populer, setelah ia secara tak sengaja mengunggah fotonya bersama salah satu penyanyi terkenal yang ia sunting tanpa tujuan tertentu. Secara alami, kemudian publik mengenalnya sebagai seorang penggiat penyuntingan foto yang dapat disewa jasanya, kendati ia tidak pernah secara sengaja membangun citranya sedemikian rupa. Tetapi kemudian ketika Gusmul perlahan mulai aktif menulis baik di blog maupun menerbitkan buku-buku hasil karyanya, beliau juga secara bertahap membangun citranya sebagai seorang blogger dan penulis yang sekaligus meruntuhkan citra “tukang edit foto” tersebut. Di samping itu, profesinya sebagai pembuat konten di Gardamaya.com hingga pemimpin redaksi di Mojok.co, juga berkontribusi terhadap rekonstruksi citranya di dunia digital tersebut. Sehingga akhirnya, dari pengalaman itu pula Gusmul menekankan bahwa identitas dan citra di era digital dapat dibangun, diubah, dan dipertahankan; tergantung bagaimana seseorang mengelola citranya tersebut.

Pada sesi tanya jawab di penghujung acara, ketika ditanya perihal dampak dari fitnah atau komentar negatif di media sosial terhadap pembentukan citra diri, kedua pembicara meyakini bahwa proses tersebut memang tidak akan pernah lepas dari pihak-pihak yang ingin menjatuhkan diri kita. “Citra diri tidak akan bisa dibangun dalam satu malam, dalam pengalaman saya setiap hari akan ada saja nyinyiran. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana saya harus tetap fokus pada ada yang saya kerjakan,” jawab Wicaksono perihal ujaran kebencian yang ia hadapi. Begitu pula dengan Gusmul, yang mengungkapkan harapannya bagi semua orang yang tengah berusaha membangun citra dirinya untuk tujuan positif, agar tidak terlalu mempedulikan komentar negatif yang justru bisa menghambat kesuksesan kita sendiri tersebut. (/sno)