Polemik Kepemilikan Tanah di Yogyakarta; Salah Siapa?

Yogyakarta, 18 September 2018—Permasalahan mengenai klaim tanah di Yogyakarta terus bermunculan hingga saat ini. Permasalahan ini berkisar dari kasus lahan Gumuk Pasir di Bantul hingga konflik agraria pada pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Kedua kasus tersebut mengalami permasalahan serupa yakni, lahan yang diklaim sebagai Sultanat Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). SG merupakan lahan yang diklaim sebagai kepemilikan pihak Kasultanan, sedangkan PAG merupakan lahan kepemilikan Kadipaten Pakualaman. Konflik serupa mulai dirasakan oleh warga Dipoyudan, Ngampilan, Yogyakarta, yang saat ini sedang mengalami sengketa tanah dengan pihak TNI Angkatan Darat (TNI AD).Permasalahan ini dibahas pada diskusi MAP Corner-Klub MKP Selas (18/9). MAP Corner-Klub MKP merupakan klub diskusi mingguan milik Departemen Administrasi dan Kebijakan Publik UGM. Diskusi kali ini bertajuk UU Pertanahan dan Konflik Agraria di Yogyakarta yang berlangsung di Lobby Magister Administrasi Publik Fisipol UGM Unit II. Persoalan terkait konflik agrarian ini dibahas lebih dalam dengan mengundang Kus Antoro, Pusat Studi Keistimewaan DIY Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Sugeng Teguh Santoso, Sekretaris Jendral Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), dan Mila selaku perwakilan warga Dipoyudan.

Konflik Agraria yang sedang terjadi di Dipoyudan saat ini mengharuskan 40 rumah dan 1 makam untuk dikosongkan per tanggal 21 September 2018. Hal ini terjadi akibat sengketa dengan TNI AD yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut dengan kekancingan dua. Secara hukum, TNI dapat mengklaim rumah tersebut sebagai rumah dinas jika rumah tersebut berdiri di atas tanah negara.

“Padahal, TNI mengakui bahwa tanah tersebut dipinjam dari Kesultanan Yogyakarta,” ucap Mila.

Menurut Mila, hal ini menunjukkan alasan yang tidak sinkron. Di sisi lain, Mila mengungkapkan bahwa warga memiliki dokumen yang menyatakan bahwa wilayah tersebut bukanlah aset TNI. Warga Dipoyudan sendiri sudah memiliki izin penggunaan tanah tersebut pada kekancingan Magersari. Namun, pihak TNI AD kemudian mengajukan surat pembatalan kekancingan yang dimiliki warga.

Konflik agraria yang terjadi di Yogyakarta tentunya tidak terjadi tanpa sebab. Jika dikaji lebih jauh, Kus menyampaikan bahwa terdapat ketidakpastian hukum agraria di Yogyakarta. Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang (UU) Pokok Agraria (PA) yang merupakan turunan dari UUD 1945 untuk legitimasi sertifikat hak atas tanah termasuk di dalamnya tanah eks swaparja kepada rakyat.

“UU PA merupakan satu-satunya aturan dasar mengenai agraria yang berlaku di seluruh Indonesia tanpa terkecuali DIY,” jelas Kus.

Kus kemudian menjelaskan bahwa negara tidak bisa memiliki hak atas tanah, tetapi, negara hanya bisa menguasai langsung dan mendistribusikan tanah. Munculnya UU Keistimewaan (UUK) DIY sebagai turunan dari UU Peraturan Daerah kemudian semakin mematenkan keistimewaan Yogyakarta. Salah satu kewenangan istimewa pada UUK membahas mengenai bidang pertanahan yang mengatur mengenai hak milik atas tanah.

Dalam UUK diatur mengenai tanah eks swaparja di DIY yang dilindungi kembali dan tidak diperjualbelikan untuk kesejahteraan masyarakat dan menjaga kebudayaan. Tetapi, jika suatu tanah kemudian memiliki surat dan bukti kepemilikan yang lengkap, maka, tanah tersebut bukanlah SG. Tanah SG yang kemudian digunakan secara bebas oleh warga atau suatu instansi akan disertai dengan kekancingan, “Semua tanah yang tidak memiliki kepemilikan pada orang lain maka menjadi tanah milik kerajaan,” ucap Kus.

Kus mengatakan hingga saat ini sudah terdapat lebih dari 20 kasus sengketa lahan di DIY. Keberadaan UUK inilah yang dianggap dapat merugikan masyarakat yang menggunakan tanah SG.  Hal ini diungkapkan juga oleh Mila.

“Kami merasa didzalimi dengan kepentingan-kepentingan yang mengatasnamakan UU Keistimewaan, UU ini sebetulnya melegalkan Keraton untuk melakukan hal apa saja termasuk mengalihkan fungsi lahan,” kata Mila.

Senada dengan Kus, Sugeng juga mengatakan bahwa meskipun DIY memiliki UUK, tetapi, sebagai bagian dari Indonesia, DIY juga harus patuh terhadap UU PA. Menurut Sugeng, terjadi dualisme hukum antara UU PA dengan UUK. Namun, Sugeng menyampaikan bahwa timbulnya sengketa juga dikarenakan sikap penerimaan sosiologis masyarakat DIY.

“Di sini masih berlaku UU PA, masalahnya masyarakat mau atau tidak melakukan perlawanan hukum secara masif dan membawa ke ranah Mahkamah Konstitusi,” kata Sugeng.

Hingga saat ini, warga Dipoyudan masih menunggu keputusan dari Sultan mengenai konflik lahan yang terjadi. Mila mengharapkan dukungan dan solidaritas nyata dari berbagai pihak, khususnya mahasiswa, untuk membantu dan berpihak kepada warga. (/Hsn)