Relevansi Film “Perempuan Punya Cerita” terhadap Kondisi Sekarang

Yogyakarta, 11 Maret 2020 – Dema Fisipol UGM kabinet Basudara kembali mengadakan diskusi umum Rabu lalu. Diskusi kali ini mengangkat tema isu perempuan setelah sebelumnya ditayangkan film ”Perempuan Punya Cerita” yang berisi tentang berbagai permasalahan yang menyelimuti kehidupan perempuan Indonesia. Film ini merupakan gabungan dari empat film pendek yang masing-masing membangun kesadaran para perempuan terhadap isu-isu yang menyerang dirinya. Empat segmen tersebut yakni, Cerita Pulau, Cerita Yogyakarta, Cerita Cibinong, dan Cerita Jakarta.

Karena keterbatasan waktu, sesi movie screening hanya menayangkan segmen Cerita Yogyakarta. Movie screening yang dilanjutkan dengan diskusi ini diselenggarakan di BRI Work Amphitheatre Fisipol UGM pada pukul 16.00 dan berakhir sekitar pukul 18.00 dengan partisipan yang cukup banyak. Acara ini juga mendatangkan tiga pembicara, yaitu Bu Pola Setiahati dari UPT P2TP2A Kota Yogyakarta, Mas Ramadhani Thareq Kemal Pasha dari Planned Parenthood, dan Mba Anggun dari Women’s March.

Meskipun sempat ngaret dari jadwal yang tertera dan hari mulai petang, peserta maupun pembicara menonton film dengan seksama sampai selesai. Film yang diproduksi pada tahun 2006 tersebut nyatanya masih sangat relate terhadap kehidupan pada masa sekarang. “Situasi film diambil tahun 2006 dan sekarang pun kondisinya masih sangat sangat relevan, sekarang kita berkutat pada stigma dan diskriminasi sendiri, ketika kita akan mengajarkan seksualitas baik dalam ranah formal maupun nonformal, kita akan selalu berkutat pada stigma kayak pendidikan tentang seksualitas itu sangat tabu, masih sangat susah untuk mengajarkan orang lain dalam menyebut penis dan vagina. Dalam keluarga pun sendiri masih sangat sedikit mengobrolkan tentang kesehatan seksual atau reproduksi. Masih ada di keluarga sendiri kita selalu diberikan stigma tentang organ-organ tubuh yang dianggap kotor, padahal engga, otak kita yang kotor,” ungkap Mas Kemal.

Mengamati kekerasan atau pelecehan seksual zaman dulu dan sekarang nampaknya tidak terlihat perbedaanya. “Masih ngomongin stigma, seorang istri lebih baik disiksa seumur hidup daripada menjadi janda. Pun perempuan tidak mau dicap tidak perawan. Perawan membuat stigma bahwa perempuan hanya dilihat sebagai vagina lebih kuat. Isu soal keperawanan saat ini masih sangat lekat. Isu kekerasan seksual dulu dan sekarang sama aja, bedanya sekarang ada feminisme sehingga lebih terbuka isunya. Untuk penanggulangan bukan lagi soal media, tapi ada penanaman nilai dan seks edukasi untuk lebih diomongin. Keperawanan bukan hal yg bisa mengglorisasi kita, alasan keperawanan yang sangat tebal itu hal yang sangat primitif dan harus ditinggalkan karena perempuan itu lebih dari soal keperawanan,” ujar Mbak Anggun.

Memahami realitas yang ada mengenai pelecehan dan kekerasan seksual, sebenarnya perempuan memiliki hak untuk speak up dan mampu berbuat apa yang menjadi haknya, namun kembali lagi pada fakta bahwa kebanyakan perempuan hidupnya diatur oleh suaminya dan mereka tidak bisa apa-apa. Hal seperti ini pun sangat berkaitan dengan stigma bahwa seorang istri tidak mau disebut pembangkang dan takut mendapat label istri tidak tahu diri oleh masyarakat sekitar. Stigma semacam ini pada dasarnya sangat membatasi hak-hak perempuan.

Butuh perjuangan yang sangat lama untuk mengubah sistem seperti ini karena jika kita menengok sejarah, stigma-stigma mengenai peran perempuan memang sudah mendarah daging dari dulu. “Ini adalah kaitannya dengan gender. Bahwa gender itu adalah konstruksi sosial yang memposisikan peran perempuan itu berbeda dengan peran laki-laki. Sehingga sangat erat dengan budaya patriarki yang masih lestari di Indonesia di berbagai daerah. Memang menjadi sebuah tantangan yang luar biasa. Wanita perannya belum maksimal dan belum optimal sebagaimana peran laki-laki di semua lingkup. Merubah paradigma sosial memang sangat susah, dan itu butuh juga sinersigitas dari semua elemen bagaimana mengangkat perempuan itu di Indonesia sehingga nantinya bisa mewujudkan kondisi yang menunjukkan kesetaraan gender,” jelas Bu Pola.

Pembicara dalam acara ini tidak hanya membahas dan mengobrolkan isu kekerasan atau pelecehan seksual saja, mereka juga mengusulkan dan memberi solusi untuk meminimalisasi ataupun menanggulangi. Solusi tersebut diantaranya yaitu upaya menghapus stigma-stigma yang tidak mencerminkan emansipasi hak yang ada di masyarakat, perlu disusunnya UU untuk penanggulangan kekerasan seksual serta pentingnya pengadaan kurikulum yang komprehensif mengenai sex education. (/Wfr)