Research Days 2018 : Melacak Titik Konsensus Memori Digital 1965

Yogyakarta, 28 November 2018—Vissia Ita Yulianto menjadi presenter pertama yang membawakan penelitian mengenai kasus’65 dari kacamata media baru. Youtube kemudian dipilih sebagai media yang dikaji dalam penelitiannya.

“Banyak narasi-narasi di luar narasi master mengenai kisah ‘65 yang kami temukan selama melakukan riset ini,” ujar Ita. Riset ini menggunakan pendekatan sosial memori yang lebih mengedepankan sisi emosi ketimbang fakta-fakta sejarah.

Dalam melakukan riset ini, tim ini menemukan penggunaan bahasa sebagai hal yang khas dalam topik ini. Banyak narasi-narasi yang disuarakan menggunakan bahasa-bahasa yang sengaja dimainkan dengan tujuan untuk menyuarakan ide narasi namun secara tidak langsung.

“Mwatirika merupakan salah satu pertunjukan teater oleh Papermoon Puppet yang mengusung narasi lain mengenai ’65. Mwatirika sendiri memiliki arti ‘korban’ dalam Bahasa Swahili,” jelas Ita.

Salah satu alasan mengapa akhirnya Ita dan tim memilih media baru adalah karena banyak kesaksian ’65 dari berbagai sudut pandang berada di media baru. “Media baru membuka ruang baru untuk mengungkap narasi lain dan munculnya suara alternatif,” ujar Hakimul Ikhwan, rekan satu tim Ita.

“Di Bali sendiri, kami menemukan sangat banyak cerita yang tidak berhasil dimunculkan dan masyarakat setempat mencari sarana untuk dapat menceritakan cerita-cerita tersebut. Cerita-cerita yang tidak sempat muncul ke permukaan ini yang kemudian memaksa mereka untuk akhirnya mau tidak mau harus hidup berdampingan dalam memori isu ’65 karena mereka memang tidak memiliki pilihan lain selain itu,” pungkas Ita.

Masih berkaitan dengan media baru, penelitian kedua yang disampaikan oleh Subando Agus Margono merupakan penelitian yang berbicara mengenai virtual citizen dan konstruksi publicness. Namun, sedikit berbeda dengan tim sebelumnya, Twitter menjadi media yang dikaji dalam penelitian ini.

“Menjadi suatu hal yang kurang apabila dalam membahas media sosial, kita tidak turut memahami citizenship,” ujar Bando.

Penelitian yang menggunakan studi kasus Reklamasi Bali ini berangkat dari adanya kecurigaan bahwa tidak semua yang ada di media merupakan kebenaran. “Kami menemukan bahwa perpaduan antara media sosial dan citizenship merupakan kategori media sosial baru yang berkualitas,” ujar Bando.

Riset ini mencoba mengatakan bahwa media sosial tanpa kontestasi akan kehilangan nilai publiknya. Selain kontestasi tersebut, melalui riset ini juga ditemukan bahwa sebenarnya terdapat dilema dalam konsep citizenship itu sendiri terkait ekspektasi relasi politik.

Analisis Twitter yang dilakukan kemudian bertujuan untuk memetakan aktor-aktor penting dan sentral dalam suatu jejaring sosial. “Kami melakukan pengambilan data secara online, mengunduh semua berkas html, dan kemudian melalukan normalisasi untuk kemudian menggunakan data tersebut sebagai bahan analisis kami,” jelas Bando.

Sedikit berbeda dengan kedua topik penelitian sebelumnya, penelitian ketiga membahas mengenai pembiayaan politik dalam studi kasus Pilkada di Madiun tahun 2018.

Riset yang dipresentasikan oleh Mada Sukmajati ini berfokus pada dinamika penggunaan biaya politik, baik oleh kandidat partai politik maupun kandidat perseorangan. “Riset ini berkaitan dengan aksesibilitas data dan informasi. Pencarian data laporan pembiayaan cukup sulit untuk ditemukan, entah karena sistem data yang lemah atau karena memang ada unsur kesengajaan,” jelas Mada.

Sudah hampir menjadi rahasia umum bahwa laporan pembiayaan yang dilaporkan seringkali tidak sesuai dengan realita. Dari penelitian ini, Mada mengatakan bahwa ternyata terdapat ‘dua dunia berbeda’ dalam pelaporan pembiayaan ini.

“Ada dua laporan yang dibuat dan disiapkan, satu untuk KPU dan satu lagi untuk internal. Laporan ini dikelola oleh dua bendara yang berbeda,” jelas Mada.

Yang kemudian belum dapat dijawab oleh riset ini adalah mengapa para kandidat memutuskan untuk menyembunyikan, memanipulasi, atau tidak melaporkan jumlah biaya politik yang dikeluarkan dengan sebenarnya.

Selesainya pemaparan Mada sekaligus menjadi penanda dibukanya sesi tanya jawab. Nurhadi selaku moderator mempersilakan audiens untuk mengajukan pertanyaan maupun komentar yang dapat ditujukan ke semua presenter.

Acara yang dihadiri sekitar 132 audiens ini kemudian selesai pada pukul 11.30 WIB setelah masing-masing presenter beserta tim selesai memberikan respon atas setiap pertanyaan yang diajukan sebelumnya. (/Jkln)