Roundtable Discussion; Peran Generasi Muda dalam Pengambilan Kebijakan Perlu Ditingkatkan

Fisipol UGM mengadakan Roundtable Discussion (RTD) bertajuk Current Democracy in Indonesia pada Senin (25/3/2019). Acara ini diadakan bekerjasama dengan American Council of Young Political Leaders (ACYPL) dan bertempat di Ruang Sidang Dekanat BB 208, Fisipol UGM. RTD ini dihadiri oleh para dosen dan peneliti dari Fisipol UGM dan perwakilan pemuda US yang berkecimpung dalam politik.Fisipol UGM mengirim perwakilan masing-masing dari Departemen Hubungan Internasional, Departemen Ilmu Komunikasi, Departemen Sosiologi, Departemen PSdK, dan juga perwakilan dari pusat kajian yakni Center for Digital Society (CfDS), Youth Studies Center (Yousure), dan ASEAN Studies Center (ASC). Sementara itu, perwakilan pemuda dari US terdiri dari anggota partai Republican dan Demokrat.

RTD dimulai dengan pembicaraan mengenai Fisipol UGM. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, selaku perwakilan dari Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM, mengungkapkan bahwa Fisipol secara aktif terlibat dalam mengawal pembuatan kebijakan melalui policy recommendation yang dihasilkan melalui riset. Hal ini didukung dengan banyaknya pusat kajian yang dimiliki oleh Fisipol UGM.

“Akademi memiliki peran yang penting dalam memberikan rekomendasi kebijakan kepada para pembuat kebijakan. Fisipol UGM tidak hanya bekerjasama dengan pemerintah, namun juga bekerja sama dengan pihak swasta, NGO, maupun komunitas,” kata Poppy.

Hal ini diamini oleh masing-masing perwakilan dari pusat kajian. Namun, menurut Dana Fahadi, perwakilan dari Yousure, hingga saat ini masih banyak tantangan dalam meningkatkan keterlibatan generasi muda dalam pembuatan policy brief.

“Kita berfokus untuk berkolaborasi lebih banyak dalam membuat policy brief. Tetapi, keterlibatan generasi muda masih rendah dan banyak tantangan untuk meningkatkan keterlibatan generasi muda dalam institusi itu sendiri,” kata Dana.

Silky Malik, perwakilan US dari partai Demokrat, mengatakan bahwa hal serupa juga masih ditemukan di US. Tetapi, di US banyak pergerakan yang dimulai dari universitas.

“Mahasiswa bekerja bersama untuk mencari apa yang salah, lalu melakukan protes dan membuat sebuah gerakan atau organisasi tertentu itu semua bermula dari kampus,” kata Malik.

Dana mengungkapkan bahwa kondisi yang sama juga ditemukan di berbagai kampus di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Menurutnya, banyak organisasi pemuda di Yogyakarta yang turut aktif dalam berbagai gerakan sosial.

“Yogyakarta merupakan kota yang sangat beragam dengan mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang. Di Yogyakarta setiap orang memiliki kesempatan untuk berbicara. Banyak aktivitas dari gerakan mahasiswa yang ikut berkontribusi dalam gerakan protes di berbagai isu seperti gender dan disabilitas. Diharapkan, gerakan mahasiswa ini kemudian bisa ikut berkontribusi dalam membuat kebijakan,” kata Dana.

Persoalan selanjutnya yang dibahas adalah mengenai demokrasi. Perwakilan dari CfDs memaparkan bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah munculnya berbagai hoaks dan masyarakat yang belum terliterasi dengan baik.

Dalam menanggapi persoalan ini, Poppy mengatakan bahwa saat ini Departemen Politik dan Pemerintahan UGM memiliki Big Data Analytics. Berdasarkan analisis, generasi muda cenderung skeptis soal politik dan banyak dari mereka yang masih bimbang untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilu yang akan datang.

“Jadi saat ini kami juga berfokus untuk bagaimana mengajak generasi muda untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu nanti,” kata Poppy.

Menurut Poppy, salah satu alasannya adalah tidak diperbolehkannya kampanye di universitas. Universitas dianggap sebagai wilayah netral. Berbeda dengan US dimana kampanye dilakukan di kampus-kampus.

Karena itulah Fisipol UGM mengadakan talkshow bedah program capres-cawapres yang berlangsung selama lima babak. Talkshow ini, menurut Poppy, merupakan bentuk kepedulian Fisipol UGM terhadap isu ini.

Di US sendiri, Malik menyebutkan banyak anak muda yang ikut berkecimpung di partai. Anak muda yang berada di partai kemudian secara aktif mengangkat berbagai isu seperti LGBT, disabilitas, gender, etnis, dll. Chad Banks, perwakilan US dari Republican, kemudian menanyakan mengenai inklusifitas di Indonesia untuk kelompok marginal.

Menanggapi hal tersebut, Poppy mengatakan bahwa LGBT masih menjadi isu yang sangat sensitif di Indonesia. Selain itu, dalam menciptakan lingkungan yang inklusif, masih banyak upaya dilakukan untuk terus meningkatkan awareness di kalangan masyarakat.

Sebagai tambahan, Banks juga menanyakan mengenai isu besar selanjutnya yang tengah dihadapi Indonesia. Forum menyetujui bahwa isu besar yang akan dihadapi Indonesia selanjutnya adalah ekonomi digital dan industri 4.0.

Tidak hanya permasalahan demokrasi, dalam diskusi ini juga didiskusikan mengenai isu lingkungan seperti climate change dan pengurangan penggunaan plastik. Samantha Paradis, perwakilan US dari Demokrat, berharap tingkat awareness dan kepedulian masyarakat pada isu lingkungan khususnya climate change terus ditingkatkan. (/hsn)