Seminar Inklusi in The End: Memahami Perdamaian di Masa Lalu dan Masa Depan

Yogyakarta, 17 November 2019—Perdamaian tak pernah datang tiba-tiba. Ia diciptakan, dibangun, dan kadang diperjuangkan lewat kerja yang berat dan proses yang berangsur-angsur. “Karena adanya perdamaian, saya bisa berdiri di hadapan Anda sekarang, di tempat ini. Jika bukan karena perdamaian, mungkin saya sudah mati tergeletak di rimba hutan-hutan Malaya,” ujar Ravi Sarma, sambil agak tersenyum getir. “Dan ini adalah kali pertama saya berbagi pengalaman di hadapan orang banyak,” tambah Ravi.

Ravi Sarma adalah satu dari sekian banyak orang yang terlibat dalam perang gerilya di wilayah Malaya (sekarang Malaysia dan sekitarnya) pada sekitar tahun 1980, ia merupakan mantan militer. Perang tersebut merupakan pertempuran sengit antara Malaya Communist Party (selanjutnya disebut MCP) dengan pemerintah Malaysia pada saat itu. Perang tersebut banyak dikenal publik sebagai Pemberontakan Komunis Sarawak.

Kepada audiens, Ravi menceritakan pengalamannya selama terlibat dalam gerilya. Pada kesempatan awal, kepada audiens, ia menunjukkan foto-foto tempat yang pernah ia lalui selama bergerilya belasan tahun lalu. Obrolan pada kesempatan selanjutnya juga berkisar pada pengalaman personal Ravi, berikut nasihat-nasihat moralnya tentang betapa penting menjaga perdamaian. “Saya sangat berharap orang-orang Indonesia bisa hidup dengan berbahagia dan sehat selalu,” ujar Ravi. Kalimat tersebut adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum mengakhiri obrolan pada kesempatan itu.

Selain Ravi, kesempatan tersebut juga menghadirkan Ling Hongxuan, mahasiswa kandidat peraih gelar doctor of philosophy dari University of Washington, Amerika Serikat. Adalah seminar berjudul Peace in the End yang mempertemukan keduanya. Seminar tersebut berfokus pada pembahasan tentang perdamaian dalam konteks sosial-politik di wilayah Asia Tenggara. Acara tersebut digagas oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

“Saya sangat bahagia dan merasa terharu karena para pembicara datang jauh-jauh dari Malaysia, Singapore, dan Washington untuk hadir di acara ini,” kata Gilang Desti Parahita. Pada saat pembukaan acara. “Itu menunjukkan betapa pentingnya mengadakan acara-acara semacam ini,” tambahnya.

Gilang adalah dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Pada kesempatan tersebut, ia mewakili pihak kampus untuk memandu jalannya acara, berperan sebagai moderator. Setelah membuka acara, Gilang mempersilakan Ling Hoxuan dan Ravi Sarma untuk membagi pengalaman masing-masing kepada audiens.

Adapun Ling Hoxuan berkesempatan membagi pengetahuannya soal keberadaan MCP secara historis. Bahasan tersebut agak sejalan dengan penelitian tentang hubungan antara Marxisme dan Islam di Indonesia yang sedang ia garap untuk menyelesaikan disertasi. Kepada audiens, Ling menjelaskan sejarah berdirinya MCP, konflik yang terjadi, hingga keruntuhan MCP secara jelas dan runtut dalam bahasa Inggris.

“Meskipun berdiri pada tahun 1930, keberadaan MCP baru mulai melemah ketika Malaysia mencapai kemerdekaan di tahun 1957,” ungkap Ling. Pada kurun waktu 1930 hingga 1957 itu, terjadi banyak peristiwa sejarah yang melibatkan MCP. Menurut presentasi yang disampaikan Ling, MCP punya basis kekuatan yang kuat dari masyarakat sipil non-profesional sebanyak 50.000 orang.

Lewat kekuatannya itu, MCP pernah mengadakan kampanye pembunuhan terhadap banyak tokoh pemerintah pada saat itu. MCP juga terlibat dalam beberapa pertempuran berdarah dengan pihak pemerintah, salah satunya dalam Pemberontakan Komunis Sarawak yang banyak menelan korban jiwa.

Melalui pembahasan peristiwa sejarah dalam acara semacam ini, kita paham bahwa hidup yang nyaman dan damai tak muncul semudah membalikkan telapak tangan. Sudah menjadi kewajiban bagi kita yang telah merasakannya sekarang untuk memastikan perdamaian-perdamaian lain terjadi di masa depan. (/Snr)