Sodet #2: Memahami Big Data Dalam Kajian dan Penelitian

Yogyakarta, 30 Juni 2020—Program Pascasarjana Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan menyelenggarakan diskusi kedua dari delapan serial diskusi Social Development Talks (SODET) dengan tema “Memahami Big Data: Kajian dan Penelitian” pada hari Selasa (30/6) pukul 13.00-15.00 WIB. Webinar yang menghadirkan pembicara Dr. Novi Kurnia, M.Si., M.A selaku Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM yang dimoderatori oleh Zita Wahyu Larasati, S.Sos., M.A selaku Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM ini dihadiri oleh 110 peserta pada aplikasi Webex sekaligus disiarkan langsung pada channel Youtube PSdK Fisipol UGM.

Diskusi ini membahas tentang big data dalam sebuah kajian dan penelitian. Bentuk dari data berupa angka, karakter, teks, simbol, gambar, suara, video, gelombang elektromagnetik, dll. Big data sendiri sebenarnya sudah mulai dibicarakan pada tahun 1990an yang dianggap sebagai sebuah cara untuk mengelola dan menganalisis dataset yang masif. Mulai tahun 2013, big data sering digunakan sebagai buzzwords, tetapi masih banyak di sektor bisnis dan media sebelum akhirnya muncul di ranah penelitian akademik, terutama ilmu sosial.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan sistem digital memiliki lokasi dan sumber yang beragam. Lokasi data dapat ditemukan dimana saja, seperti di rumah, kantor, maupun ruang publik. Sumber data juga dapat tersedia di media sosial, media daring, telepon pintar, komputasi awan, dan internet of things. Dr. Novi menjelaskan perbedaan antara big data dan small data dapat dilihat dari tiga rumus yang seringkali dikemukakan oleh peneliti atau pustaka tentang big data, yaitu Volume (ukuran), Velocity (kecepatan), dan Variety (keberagaman). Jika dilihat dari ukuran, big data sangat besar sedangkan small data terbatas sampai dengan besar. Kecepatan big data sangat cepat dan cair dibandingkan small data yang lambat dan beku. Ragamnya juga sangat banyak dan luas, sedangkan small data terbatas sampai luas.

Dalam diskusi tersebut juga ditampilkan hasil mini riset mengenai big data keseharian. Bahwasanya data pribadi, keberadaan, pola bepergian, preferensi makanan, perilaku konsumen, pola menonton, pola kesehatan, dan sebagainya dapat dipetakan melalui hal-hal sederhana yang kita lakukan secara daring. Diantaranya, membagikan foto di media sosial, lokasi tertandai di media sosial, tempat yang didatangi melalui ojek online, makanan yang dipesan secara online, barang yang dibeli, film yang ditonton, aplikasi kesehatan yang digunakan, dan sebagainya. “Kita sering gak sadar menjadi angka untuk orang-orang yang membutuhkan dan bahkan kita gak sadar bahwa data kita seringkali digunakan,” ungkap Novi.

Dalam penjelasannya, beliau dan tim riset big data Fisipol sebagai ilmuwan sosial percaya bahwa kekuatan perspektif teori ilmu sosial terhadap fenomena big data adalah kunci penting, yang tak kalah pentingnya dari keberadaan big data itu sendiri. “Karena apa artinya big data kalau kita tidak bisa membacanya, itu maknanya apa, terutama dalam konteks ilmu sosial yang kita geluti sehari-hari,” ujarnya. Big data ini kemudian menumbuhkan kolaborasi ilmu dari ilmu komputer, ilmu statistik, ilmu matematika untuk pemograman, ilmu sosial yang kemudian memunculkan social computing, digital humanities, ataupun computational for social sciences. “Jadi, kolaborasi antar-ilmu itu dimungkinkan karena big data itu bukan milik satu ilmu sendiri, tapi juga milik banyak ilmu,” ujarnya.

Sehubungan dengan kajian, big data melahirkan fenomena sosial, yang ditandai dengan semakin meningkatnya peran negara dan pasar dalam melakukan peran ‘pengawasan’, peran mata-mata (surveillance), pada warga negara (digital). Big data juga meningkatkan partisipasi warga di ruang digital, serta melahirkan topik kajian baru dalam disiplin ilmu sosial dan politik tidak hanya di Indonesia, melainkan secara global. Dalam konteks ilmu sosial, big data tidak hanya menimbulkan makna, tetapi juga cara baru dalam riset ilmu sosial. Big data juga bukan hanya bersumber dari media sosial dan media daring, tetapi juga dapat melalui data bases, internet of things, cloud, dan lain-lain. Pemanfaatan big data memang lebih terpaku pada proses pengumpulan yang cepat tapi pemanfaatannya belum maksimal, lintas disiplin ilmu masih perlu dielaborasi. Tugas seorang ilmuwan sosial yang menggunakan big data adalah untuk membumikan big data sesuai konteks sosial supaya tidak terjebak teknologi determinisme dan konspirasi data agar bisa memberikan alternatif solusi pada warga.

Dr. Novi menyebutkan bahwa tipe analisis big data beragam, diantaranya tipe analisis dekriptif yang menggambarkan apa yang terjadi, analisis diagnostik untuk menjelaskan alasan terjadinya sesuatu, analisis prediktif untuk memprediksi apa yang akan atau mungkin akan terjadi, dan analisis preskriptif untuk menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan jika sesuatu terjadi. Semakin kompleks persoalan, maka semakin tinggi kontribusi added-value yang diberikan. (/Wfr)