Transnasionalisme: Memperjuangkan Persamaan Nasib Melalui Gerakan Global

Yogyakarta, 4 April 2019 – Transnasionalisme mulai banyak dilakukan oleh peran aktor non-negara seperti LSM maupun national corporation yang perannya menjadi lebih besar dalam dinamika hubungan internasional. Hal ini pun dibahas dalam bedah buku ”Transnasionalisme: Peran Aktor Non Negara dalam Hubungan Internasional” yang diselenggarakan oleh IIS Fisipol UGM di ruang BA 209 pada Kamis (4/4).Menghadirkan Ani W. Soetjipto, Dosen Hubungan Internasional Fisip Universitas Indonesia bersama Siti Daulah Khoiriati, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM sebagai pemateri diskusi bedah buku yang baru diterbitkan. Buku tersebut memiliki misi untuk menjelaskan praktik advokasi yang menjadi passion dalam konteks HI mengenai advokasi transnasional, mulai dari studi kasus di  Indonesia hingga komparasi di negara lain.

Transnasionalisme yang melibatkan peran aktor non-negara dalam Hubungan Internasional merupakan fenomena cross cutting, identity politics, environment bahkan Information and Communications Technology (ICT).  “Pada transnasionalisme, relasi agen, struktur dan peran non-negara didesak maupun menekan negara. Aktor non-negara bisa mengubah kebijakan melalui advokasi, power of ideas dan discourse,” ujar Ani.

“Kalau dulu stuktur dan agen terpisah, saat ini melihat link up-nya, strukturnya tidak lagi linear namun ada hubungan antara internasional dan domestik,” ujar Ani. Perlu diketahui, transnasionalisme sendiri terdiri dari Transnational Advocacy Network (TAN) dan Transnastional Social Movements (TSM) dimana TAN berasal dari struktur internasional yang advokasi hilirnya menekan negara atau perubahan menginginkan adanya nilai baru. Sedangkan TNM perjuangan awalnya dimulai dari ranah domestik dan berlanjut ke perjuangan global.

Siti Daulah Khoiriyati mengungkapkan bahwa fenomena transnasional berawal dari masuknya fenomena ekonomi politik dimana hubungan antara Cina dan Jepang yang mulai rentan, namun adanya aktor non-negara yang aktif dapat menahan agar tidak pecah. “Transnasionalisme bukan hanya relation tapi juga activism. Aktornya beragam dan tidak bisa dindentifikasi secara konkret. Di aktivisme, siapa saja bisa jadi aktivis dan bisa bergerak dari ranah lokal ke global,” ujar Siti.

Dalam sesi diskusi, bedah buku yang dihadiri oleh berbagai lintas studi diwarnai dengan diskusi yang cukup substantif. Teja, mahasiswi PSdK mempertanyakan peran dan pendampingan apa yang secara konkret ranah HI lakukan. Membandingkan dari perspektif PSdK yang mendampingi masyarakat yang nantinya menghasilnya output kesejahteraan sosial sebagai bentuk aktualisasi dari hasil advokasi.

“HI memang sangat luas, ketika melihat fenomena di global dan terlihat ada persamaan lalu persamaan lokal ke global dibawa, muncul gagasan yang mempersatukan untuk ditekan, dukungan internasional bisa jadi support dan difasilitasi oleh transational movements,” respon Siti.  “HI bukan lagi dikotomi, tapi sifatnya intertwined, ” tambah Ani.

Merespon diskusi, Dendy Raditya selaku alumni MKP menyinggung tentang legislasi dari pendidikan nasional yang membentuk neoliberalisme. Sebagai orang yang berpihak, ia menanyakan adanya kompetisi perjuangan antara masyarakat powerless yang transnasional dengan perjuangan powerfull yang juga transnasional.

“Ada gerakan yang gagal dan berhasil, momentum politik hadir sebagai peluang untuk mendesak perubahan. Karakter isu juga memengaruhi kegagalan maupun berhasilannya. Tingkatan network, resource dan mobilization menjadi penentu seperti nilai anti diskriminasi ras yang menghasilkan perubahan membutuhkan waktu dan konsentrasi yang lama,” ujar Ani.

Randy Wirasta Nandyatama, Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM memberi kritik terhadap transnasionalisme, “Transnasionalisme yang mendorong norma baru, bisa sukses kalau membangun koalisi. Mendesak entitas pemerintah dengan ide dan norma yang dianggap linear yang diolah hingga mencapai tipping point. Padahal, bisa jadi ide tersebut balik lagi seperti diawal karena civil society sendiri sering mengalami fragmen dan konflik internal. Hal seperti ini belum ter-capture dalam konsep transnasionalisme,” ujar Randy.

Transnasionalisme yang juga merupakan mata kuliah di Departemen Hubungan Internasional membahas tentang budaya transnasional yang berisi interaksi budaya asing dan lokal serta output-nya. Topik ini banyak diminati oleh para mahasiswa yang tertarik dengan isu seperti  human trafficking, penyelundupan satwa, dan transnational crime. “Adanya mata kuliah ini menunjukan bahwa studi HI tidak semata hanya bekerja di Kementrian Luar Negeri atau menjadi diplomat,“ ujar Siti. (/Afn)