Women Roles in Politics,  “If She Can See It, She Can Be It!”  

Yogyakarta, 25 Maret 2019 –  “It’s not a gender competitive, it’s about mutual respect,” ujar  Sarah Kurovski, Walikota perempuan pertama dan termuda di Pleasant Hill, Iowa, Amerika Serikat.yang berkunjung ke Indonesia dan menjadi pembicara di Public Lecture bertajuk “Politics and Gender: Indonesia and the US Perspective”, bersama Ulya Niami Efrina Jamson dosen Departemen Politik pemerintahan Fisipol UGM yang diselenggarakan GEO Fisipol pada  (25/3) di Seminar Timur Fisipol UGM.
Sarah menceritakan bahwa pada tahun 1770-an ketika Amerika baru merdeka, perempuan tidak memiliki hak untuk memilih. Hingga saat ini pun baru 23 persen partisipasi perempuan di kursi kongres sehingga Amerika masih memiliki banyak jalan yang harus ditempuh.Citra perempauan yang masih dipandang sebelah mata bukan hanya sekedar di sektor pemerintahan, di dalam media ada bias emplisit terhadap perempuan, bagaimana perempuan di wawancarai dan reportase lebih fokus pada penampilan dan keluarga. Sedangkan laki-laki lebih fokus ke arah kebijakan. Di fundraising, laki-laki memiliki ikatan dan kecendrungan politik lebih kuat dengan para donor politik sehingga perempuan perlu lebih banyak waktu untuk menempuh hal yang sama. Selama ini, perempuan cenderung hanya bisa menguasi sektor grassroots.

Spirit ”If she can see it, she can be it” di Amerika muncul untuk mewujudkan cita-cita perempuan untuk bisa menjadi apapun. Sayangnya, di Amerika hingga saat ini belum ada presiden perempuan dan butuh bergenerasi untuk mewujudkannya.

Sarah sebagai perempuan yang bekerja di ranah publik maupun domestik memiliki posisi menantang sebagai ibu dua anak sekaligus Walikota.  “Mengapa juga harus dibenturkan kalau aku bisa jadi ibu sekaligus politikus yg baik,” ujar Sarah.

Pun ketika ia menjadi tokoh publik sebagai walikota, Ia ingin mewujudkan berlangsungnya layanan dan komunitas publik yang baik, sehingga penduduk pun bangga untuk hidup dan tinggal.

Selanjutnya, Ulya Jamson memaparkan bahwa perkembangan peran perempuan di Indonesia pernah mengalami demonisasi dan destruksi yang merupakan penyebab dari aktivitas  progresif perempuan pada tahun 1965. “Waktu itu secara politik perempuan aktif berpartisipasi  dari level lokal hingga nasional. Era Orde Baru menghasilkan floating mass yang menjadikan masyarakat jauh dan apatis dengan urusan politik. Kebijakannya pun tidak memihak perempuan, seperti kebijakan KB yang terlihat bagus namun sebenarnya menghilangkan kebebasan permpuan dalam merencanakan keluarganya sendiri,” ujar Ulya.

Suara Ibu Peduli merupakan contoh peran perempuan yang luar biasa namun jarang ada yang peduli dan membawa isu perempuan di 98. Saat itu, gerakan Suara Ibu Peduli bukan hanya membahas kebutuhan perempuan namun juga krisis ekonomi.  Pada zaman Orde Baru pula perempuan hanya berkesempatan berperan bidang politik tertentu seperti di Kementerian Pemberdayaan Wanita.

 

Sebagai penutup, Sarah dan Ulya meyakini bahwa pendidikan merupakan kunci untuk mendorong perempuan. Di Amerika ada program “Ready to Run”” untuk menyiapkan perempuan berkecimpung di dunia politik, sedangkan  di Indoensia ada “Sekolah Politisi Muda”.  (/Afn)