Yunizar Adiputera: Mengupayakan Perdamaian Dunia tanpa Senjata Nuklir

Yogyakarta, 10 Mei 2019—beberapa hari yang lalu masyarakat Indonesia dibuat bangga dengan berita Indonesia yang berhasil menjadi Presiden pada Sidang Dewan Keamanan PBB Mei 2019. Sidang yang berlangsung di New York tersebut dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan batik ditetapkan sebagai dresscode sidang pada hari itu.

Namun, tidak banyak yang tahu bahwa sidang tersebut bukan merupakan satu-satunya sidang yang diadakan. Tepat disebelah ruangan tempat sidang DK PBB diadakan, terdapat sidang persiapan yang nantinya akan menghasilkan output berupa draft rekomendasi untuk Review Conference PBB 2020 terkait Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT). Yunizar Adiputera, dosen Ilmu Hubungan Internasional, menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang turut berpartisipasi dalam sidang yang dijadwalkan pada 29 April-10 Mei 2019 tersebut.

Dirinya datang selaku perwakilan Institute of International Studies (IIS) sebagai partner organisasi dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN). ICAN merupakan koalisi masyarakat sosial global yang bertujuan untuk mempromosikan nilai dan implementasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW). Yunizar mengatakan bahwa masyarakat sosial memiliki peran penting dan keterlibatan yang cukup besar dalam upaya perdamaian dunia tanpa senjata nuklir. Masyarakat sosial biasanya akan menyediakan urgensi, sumber daya pengetahuan, dan para ahli yang dibutuhkan negara untuk merumuskan kebijakan terkait isu spesifik yang sedang dihadapi.

Tugas Yunizar dan campaigners ICAN lain adalah untuk mempromosikan TPNW dan mengupayakan implementasinya. Secara umum, terdapat tiga pesan yang coba disampaikan oleh ICAN dalam sidang tersebut. Pertama, ICAN akan melakukan briefing paper yang berisi pandangan ICAN mengenai NPT dan tujuannya. Kedua, menanyakan kepada negara-negara apakah mereka akan memasukkan TPNW ke dalam pernyataan mereka. Dan terakhir, menanyakan perkembangan TPNW di negara mereka.

Secara spesifik, Yunizar didaulat sebagai regional coordinator yang bertugas melakukan lobi kepada pemerintah negara-negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan. “Sebelumnya juga sudah dilakukan campaigners meeting untuk membahas strategi apa yang harus digunakan untuk melobi pemerintah,” jelasnya.

Dalam sidang tersebut, terdapat tiga topik utama bahasan yang sesuai dengan pilar NPT, yaitu pelucutan senjata, non-proliferasi, dan penggunaan damai tenaga nuklir. Masing-masing topik nantinya akan dibagi dan dibahas dalam tiga kluster berbeda. Dari ketiga hal tersebut, pelucutan senjata menjadi pilar yang terhenti penyelenggaraannya, sedangkan isu non-proliferasi dan penggunaan damai tenaga nuklir telah ditindaklanjuti dan berkembang cukup maju.

Menurut Yunizar, salah satu penyebab terhambatnya upaya pelucutan senjata ini karena tidak ada upaya yang berimbang untuk melakukan pelucutan senjata secara sistematis dan global. Beberapa negara justru melakukan modernisasi senjata dan mengembangkan senjata yang lebih mudah digunakan, alih-alih melakukan pelucutan. “Terhentinya pelaksanaan pilar pelucutan senjata ini kemudian membuat masyarakat internasional frustasi dan kemudian mendasari munculnya inisiasi untuk membentuk traktat baru yaitu TPNW yang tujuannya fokus pada pelucutan senjata, sekaligus bertindak sebagai traktat komplementer NPT,” jelas Yunizar.

Namun tidak semua negara setuju bahwa TPNW merupakan traktat yang sesuai dan komplementer terhadap NPT. “Beberapa negara pemilik senjata nuklir seperti Amerika Serikat dan Rusia merasa bahwa TPNW merupakan traktat yang berbahaya, tidak berguna, dan justru mengganggu penerapan NPT,” ujar Yunizar. Perdebatan ini merupakan hal lain yang turut hadir dalam sidang tersebut. Negara yang bukan pemilik senjata nuklir merasa bahwa TPNW dibutuhkan sebagai traktat pendukung NPT dalam upaya pelarangan pembuatan, pengembangan, dan penggunaan senjata nuklir.

Negara-negara tersebut juga beranggapan bahwa meskipun negara pemilik senjata nuklir melakukan ratifikasi NPT, namun mereka dinilai kurang berkomitmen dalam hal pelucutan senjata. Terkait hal tersebut, Yunizar melihat bahwa kesadaran dan kepedulian terhadap isu penggunaan senjata nuklir masih cukup kurang. Maka dari itu, tugas lain yang diembannya adalah mempromosikan dan meningkatkan kesadaran serta kepedulian mereka terkait hal ini.

“Peningkatan kesadaran menjadi hal yang penting untuk mendorong kepedulian mereka terhadap isu ini. Yang terjadi sekarang adalah banyak dari mereka yang hanya berhenti pada tahap menganggap isu ini sebagai hal yang penting saja, namun belum berupaya untuk melakukan sesuatu,” jelasnya. Dalam kaitannya dengan Indonesia sendiri, Yunizar mengatakan Indonesia memiliki peran penting dalam agenda pelucutan senjata yang dapat dilihat dari terpilihnya Indonesia sebagai Ketua Pokja Pelucutan Senjata sejak tahun 1990an. Dalam sidang DK PBB pun, Indonesia juga membawa agenda pelucutan senjata sebagai agenda prioritas.

Agenda perdamaian sebenarnya bukan merupakan agenda eksklusif yang hanya dimiliki oleh pejabat, akademisi, institusi besar saja. Terlibatnya masyarakat keseluruhan justru menjadi hal yang sangat penting dalam terwujudnya perdamaian dunia. Tiap-tiap individu, baik itu mahasiswa, pelajar, masyarakat umum dapat ikut berkontribusi dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, seperti awareness raising lewat media sosial mengenai isu tersebut. (/Jkln)