[MAP Corner] Ekonomi Politik Reklamasi Pantai

Waktu : Selasa, 19 April 2016

 

 

Kebijakan reklamasi pantai akhir-akhir ini menjadi topik yang begitu hangat, seperti upaya reklamasi pantai di Bali, Makasar dan di Jakarta. Berbagai problematika pun muncul dan pro- kontra mencuat. Pada hari minggu (10/04/2016) aksi solidaritas untuk Bali tolak reklamasi digelar di beberapa kota besar di Indonesia. Massa menolak reklamasi berkedok revitalisasi Teluk Benoa. Aksi menolak kebijakan reklamasi pantai juga terjadi di Makasar dan Jakarta.

            Di Jakarta kebijakan reklamasi bukan lagi hal yang baru. Pada 1980-an, PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara. PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981. Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda (Kompas, 11/11/2016). Rencana kebijakan reklamasi pantai di Teluk Benoa – Bali, Pulau G – Jakarta dan pisisir pantai Makasar juga dilakukan dengan motif sama yaitu untuk kawasan hunian dan bisnis.

            Bagi mereka yang menolak, kebijakan reklamasi pantai tersebut dianggap akan mengakibatkan terancam punahnya ekosistem pesisir, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati. Selain itu kebijakan reklamasi ini juga dianggap akan menyingkirkan masyarakat lokal disekitar objek reklamasi. Itu karena tidak semua kelas ekonomi masyarakat bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut. Sehingga untuk siapa sebenarnya kebijakan reklamasi pantai di Bali, Jakarta dan Makasar tersebut? Bagaimana perspektif ekonomi politik tata ruang kota melihat kebijakan ini? Mengapa kebijakan reklamasi tersebut seolah begitu dipaksakan oleh pemerintah? Apa implikasi dari kebijakan reklamasi pantai ini? Bagaimana gerakan rakyat merespon kebijakan reklamasi pantai tersebut?

Mari mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut pada Selasa, 19 April 2016 pukul 15.00 di Lobby Magister Administrasi Publik UGM bersama pemantik diskusi perwakilan aktivis ForBali dan Gregorius Sri Wuryanto (Dosen UKDW Yogyakarta).

 

Gratis Untuk Umum dan Nikmati Jajanan Sore!

Kebijakan reklamasi pantai akhir-akhir ini menjadi topik yang begitu hangat, seperti upaya reklamasi pantai di Bali, Makasar dan di Jakarta. Berbagai problematika pun muncul dan pro- kontra mencuat. Pada hari minggu (10/04/2016) aksi solidaritas untuk Bali tolak reklamasi digelar di beberapa kota besar di Indonesia. Massa menolak reklamasi berkedok revitalisasi Teluk Benoa. Aksi menolak kebijakan reklamasi pantai juga terjadi di Makasar dan Jakarta.

          Di Jakarta kebijakan reklamasi bukan lagi hal yang baru. Pada 1980-an, PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara. PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981. Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda (Kompas, 11/11/2016). Rencana kebijakan reklamasi pantai di Teluk Benoa – Bali, Pulau G – Jakarta dan pisisir pantai Makasar juga dilakukan dengan motif sama yaitu untuk kawasan hunian dan bisnis.

          Bagi mereka yang menolak, kebijakan reklamasi pantai tersebut dianggap akan mengakibatkan terancam punahnya ekosistem pesisir, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati. Selain itu kebijakan reklamasi ini juga dianggap akan menyingkirkan masyarakat lokal disekitar objek reklamasi. Itu karena tidak semua kelas ekonomi masyarakat bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut. Sehingga untuk siapa sebenarnya kebijakan reklamasi pantai di Bali, Jakarta dan Makasar tersebut? Bagaimana perspektif ekonomi politik tata ruang kota melihat kebijakan ini? Mengapa kebijakan reklamasi tersebut seolah begitu dipaksakan oleh pemerintah? Apa implikasi dari kebijakan reklamasi pantai ini? Bagaimana gerakan rakyat merespon kebijakan reklamasi pantai tersebut?

Mari mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut pada Selasa, 19 April 2016 pukul 15.00 di Lobby Magister Administrasi Publik UGM bersama pemantik diskusi perwakilan aktivis ForBali dan Gregorius Sri Wuryanto (Dosen UKDW Yogyakarta).

Gratis Untuk Umum dan Nikmati Jajanan Sore!

 

Lokasi: Lobby Magister Administrasi Publik UGM

Registrasi: 

Kontak: 

Waktu: 2016-04-19 08:00:00 – 2016-04-19 10:00:00

Informasi: 

Notes: