Jeda Online: Menghidupi Seni Lewat Sastra

Di Indonesia, sastra bukanlah lapangan bermain yang menarik bagi banyak orang. Sastrawan atau pekerja seni seringkali merupakan mereka yang terpojok dan mengambil jarak dari pergaulan masyarakat secara umum. Selain memang tak menjanjikan kecukupan material, berkesenian—atau bersastra secara khusus—memang kerja kebudayaan yang menuntut kesungguhan dan kesetiaan secara terus-menerus, dan tak semua orang mau repot-repot melakukannya.

Meskipun begitu, di luar sana, masih banyak orang yang menekuni bidang ini dengan semangat dan tak mengharapkan apapun. Mereka membaca banyak buku, mengurangi waktu menongkrong selama berjam-jam dengan teman-teman sebaya, serta duduk dan menulis. Salah satu dari banyak orang tersebut adalah Davin Ezra Pradipta, mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM angkatan 2017.

Bersama teman-temannya, ia membuat sebuah komunitas yang berfokus pada produksi tulisan yang bernilai sastra. Pada Januari awal tahun 2019 ini, ia dan komunitas tersebut merilis sebuah platform media bernama Jeda Online (selanjutnya disebut Jeda) beralamatkan www.jedaonline.com. Sejak Januari 2019 ini, Jeda menjadi media online kecil-kecilan yang menyuguhkan konten alternatif dan timeless mengenai fenomena kultural, sosial, dan budaya pop. Proses kerja dan diskusi redaksional dilaksanakan di rumah kontrakan yang ia pakai bersama teman-temannya di Banguntapan, Bantul.

Hingga saat ini, Jeda memiliki 5 rubrik: Njeda (tulisan di rubrik ini berupa esai), Nyastra (dapat berupa cerpen maupun puisi), Sepi (merupakan esai reflektif tentang pengalaman spiritual yang sifatnya personal), Sinema (review film), dan Persona (biografi tokoh-tokoh penting). Tulisan-tulisan yang terdapat dalam kelima rubrik itu berasal dari redaktur—yang salah satunya adalah Davin—dan kontributor.

Dengan mengusung konsep curated user generated content, Jeda secara terbuka menerima kiriman tulisan dari pihak manapun untuk mengisi rubrik yang ada, dengan proses kurasi dan editorial secukupnya dari tim redaksi.

Seperti namanya, Jeda bertujuan untuk menjadi tempat rehat dan berhenti sejenak dari rutinitas harian yang kadang melelahkan. Berhenti sejenak bukan berarti lari, hanya mengambil jarak batin, agar kita menjadi lebih segar ketika kesibukan memanggil kembali.

Pernyataan semacam itulah yang dirangkum oleh Davin dan teman-temannya, dan tertulis pada laman disclaimer di website milik Jeda. Secara konsep, Jeda memang tak memposisikan diri sebagai petugas hidangan yang menyediakan berita-berita aktual tentang fenomena yang sedang hangat di masyarakat. Ia justru mengambil jarak dari fenomena-fenomena itu, lantas merangkumnya dalam esai-esai yang reflektif supaya tetap awet untuk dibaca satu hingga tiga tahun setelah fenomena-fenomena itu tak dibicarakan lagi.

Karena memutuskan berdiri dalam posisi yang tak sama dengan arus media utama pada umumnya, Jeda tidak tumbuh menjadi media dengan tujuan mencari keuntungan finansial. Proses kerja dan energi yang berlangsung di dalamnya berlangsung secara murni, dan dilakukan sebagai usaha untuk mengejawantahkan kebebasan berekspresi. Meskipun begitu, Davin dan teman-temannya tak merasa keberatan.

“Bersastra adalah memahami kesunyian. Dan keindahan hidup seringkali kita temukan di waktu-waktu yang paling sunyi. Untuk merasakan keindahan itu, otomatis kita harus rela merasakan keterasingan, dan kadang, penderitaan,” ujar Davin suatu siang kepada kami.

Sebagai mahasiswa, Davin memang cukup dikenal fokus mendalami dunia seni. Sejak awal masa belajarnya di Fisipol UGM, ia sudah bergabung di Teater Selasar. Dan akhir 2019 ini, ia mengutarakan akan merilis sebuah film pendek yang di dalamnya ia menjadi peran utama.

Sesuatu yang selama ini digeluti Davin memang tak menjanjikan ketercukupan material. Jeda Online, berteater, maupun film pendek. Ketiganya adalah kesibukan-kesibukan yang tak memberi hasil kasat mata. Namun, setidaknya Davin bisa berbangga diri dan bergembira, karena tak semua mahasiswa berani mengambil jalan yang sama seperti yang ia pilih.

Banyak mahasiswa datang ke kampus sambil selalu menyimpan kebingungan karena berada di persimpangan-persimpangan pilihan hidup. Sementara Davin telah memilih salah satu persimpangan itu dan berjalan cukup jauh, tanpa menengok ke belakang. (/Snr)