Pada tanggal 27-30 Agustus lalu, Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-32 berlangsung di Universitas Udayana, Bali. Tiga Mahasiswa FISIPOL UGM angkatan 2017 (Maulida Afifatu Tsalitsi, Adhika Trisliantama, dan Miftah Farid Mahardika) berhasil membawa pulang medali perak kategori kompetisi PKM. Dua mahasiswa yang disebut di akhir berasal dari Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, sementara Maulida Afifatu (selanjutnya disebut Ifa) adalah mahasiswi Departemen Sosiologi UGM. Kami berkesempatan mendengar pengalaman yang dibagi oleh Ifa Jumat (6/9/2019) lalu.
Berdasarkan cerita dari Ifa, perjuangan timnya untuk lolos dalam kompetisi prestisius bagi seluruh mahasiswa di Indonesia tersebut tidaklah mudah. Prestise yang tinggi tersebut disebabkan lantaran PIMNAS menjadi satu dari sekian banyak kompetisi sejenis yang secara resmi diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Sementara hasil kompetisi tersebut menjadi bagian krusial dari penilaian akreditasi universitas di seluruh Indonesia. Kepada kami Ifa bercerita, sebelum pada akhirnya berhasil bersaing dengan 60 tim mahasiswa terbaik dari seluruh Indonesia dalam kompetisi yang sama, ia telah menyiapkan segalanya sejak November tahun lalu. Sebuah persiapan yang panjang dan menyita waktu.
“Tim mulai terbentuk di bulan November. Meskipun begitu, kami menyesal karena merasa telah menyia-nyiakan waktu. Walaupun pada saat itu tim sudah terbentuk, masa liburan semester di bulan Desember tidak kami gunakan untuk mempersiapkan apapun,” tutur Ifa. Ia menerangkan bahwa koordinasi tim sempat mandek selama beberapa bulan. Baru di bulan Januari 2019, Ifa dan tim memasukkan judul proposal penelitian ke SIMASTER, sebuah platform milik UGM yang digunakan sebagai wadah penyaringan PKM di tingkat universitas.
Setelah melewati banyak revisi, Ifa dan tim akhirnya lolos dalam PIMNAS ke-32 dengan judul penelitian “Komputasional Propaganda dalam Kampanye Pemilihan Presiden 2019”. Secara umum, penelitian tersebut berusaha menjelaskan bagaimana penggunaan propaganda di media sosial pada masa kampanye dalam kontestasi Pilpres April lalu. Pengumpulan data dari penelitian tersebut, tutur Ifa, adalah sesuatu yang perlu diusahakan secara serius. Dalam penelitian, ia dan tim menggunakan mix method, di mana data kuantitatif dan kualitatif dikumpulkan secara bersamaan guna menunjang objektivitas penelitian.
Untuk mendapatkan data kuantitatif, ketiganya menggunakan analisis big data lewat social network analysis. Sementara data kualitatif diperoleh lewat wawancara dengan tiga pihak; tim kampanye Paslon 01, tim kampanye Paslon 02, dan konsultan politik dari “Drone Emprit”. Demi bisa melakukan wawancara dengan tim kampanye kedua pasangan calon, Ifa dan tim rela pergi ke Jakarta. Penelitian yang baik tentu linear dengan usaha pengumpulan data secara maksimal, dan hal itu tentu bukan hal yang mudah dilakukan belaka. Namun yang terpenting, pada akhirnya, perjuangan Ifa dan tim telah terbayar lunas. Ketiganya berhasil membawa medali perak dan mempersembahkannya kepada kampus.
“Setelah kemenangan ini, kami mendapat tawaran untuk bekerjasama dengan dosen dari Fakultas Hukum UGM dengan mengadakan konferensi. Kami ingin membahas soal peraturan kampanye digital atau policy brief. Rencananya, kami akan mengadakannya di Jepang,” jelas Ifa, dengan pandangan optimis ke depan. Ia tentu menyadari, bahwa pencapaiannya dan tim bukanlah akhir perjuangan yang harus dirayakan berlarut-larut. Ke depan, masih banyak ceruk yang harus ia isi untuk produktif dan menyebar kebermanfaatan. (/Snr)