Kampus yang baik tak hanya cukup memberi ruang bagi para mahasiswanya untuk kegiatan belajar-mengajar. Nuansa akademik memang diperlukan untuk memacu mereka berkembang dan menjalani kegiatan perkuliahan dengan baik. Akan tetapi, ketegangan justru bakal merusak semuanya. Tidak adanya ruang bagi mahasiswa untuk mengistirahatkan pikiran sejenak supaya rileks dan—dalam beberapa titik—bersenang-senang hanya akan membuat mereka tak betah berada di kampus. Dan FISIPOL UGM, tak mau hal itu sampai terjadi.Di kampus FISIPOL UGM, tersedia sarana lengkap bagi mahasiswa baik untuk kegiatan belajar, diskusi, maupun sekadar ruang bercengkerama. Untuk membaca banyak buku dan fokus menyelesaikan skripsi, mahasiswa dapat duduk dengan nyaman di Digilib selama berjam-jam. Jika hendak mengerjakan tugas kuliah sambil berdiskusi dan tetap menyantap makanan, mahasiswa bisa bebas melakukannya di Digilib Cafe atau Fisipmart. Untuk mengadakan rapat organisasi atau kerja kelompok, terdapat Selasar Barat atau Selasar BC. Sementara bagi mereka yang gemar berdiskusi dan bercengkerama dengan teman-teman sesama mahasiswa, kursi-kursi di sepanjang Taman SanSiro siap menampung semuanya.
Taman SanSiro adalah pelipur bagi mahasiswa untuk melepas ketegangan dan rasa penat seusai menjalani perkuliahan. Di sana, mahasiswa biasa santai sejenak dengan mengobrol bersama, berdiskusi, hingga merokok. Kegiatan yang disebut paling belakang itu memang pas-pas dan pantas saja dilakukan di SanSiro mengingat SanSiro punya ruang yang luas sekaligus terbuka.
Akan tetapi, tepat di sebelah selatan SanSiro, mahasiswa diminta untuk tidak merokok. Tempat itu adalah Fisipoint yang letaknya di Gedung Yongma.
Fisipoint terdiri dari dua lantai. Ia adalah tempat bagi hampir seluruh civitas akademika FISIPOL UGM untuk istirahat sejenak dan menyantap makanan di sela-sela kegiatan akademik. Karena itulah, tempat itu jadi pilihan yang tak pas untuk merokok, dengan alasan yang sederhana sekaligus amat mudah dipahami: hampir semua pengunjung Fisipoint datang untuk menyantap makanan, bukan untuk merokok—atau menghirup asap rokok orang lain.
Untuk memahami hal itu, mari kita sedikit membuat imajinasi di kepala. Bagaimana perasaaan seseorang yang sedang ingin istirahat makan siang dengan tenang, sementara di sekitarnya, asap rokok mengepul dari hampir segala sisi, dan lagipula, ia bukan seorang perokok? Tak semua orang tahan, atau lebih-lebih lagi, bisa menyantap makanan sambil menghirup asap rokok, bukan?
Lagipula, penggunaan “bahasa politis” diminta untuk tidak merokok atau area ini bebas asap rokok pada tanda di atas meja-meja sepanjang Fisipoint sudah merupakan upaya untuk menghormati para perokok. Pihak kampus tak memilih ungkapan “Dilarang Merokok” yang terkesan membatasi. Artinya, ada usaha untuk saling menghargai mereka yang merokok dan yang tidak merokok.
Lewat penghormatan dan penghargaan itu, tak sulit sama sekali bagi para perokok untuk bergeser sedikit ke utara (menuju San Siro) dan baru menyalakan rokok mereka. Kalau hal semacam itu disadari, lantas dijadikan kebiasaan, semua orang bisa sama-sama merasakan kenyamanan.
Apakah sulit untuk menahan diri tak merokok dan menaati peraturan di sebuah tempat yang telah memberi kita kenyamanan dan fasilitas melakukan banyak hal—belajar, menempa diri, hingga bersenang-senang? Semua orang tentu gelagapan memikirkan alasan kuat untuk menjawab “ya”. (/Snr)