Sejak pertengahan Maret lalu, persebaran Covid-19 makin merebak di Indonesia. Kegiatan masyarakat yang melibatkan kerumuan dan dilaksanakan di tempat-tempat umum mulai dilakukan secara daring, termasuk perkuliahan di seluruh universitas dalam negeri. Namun, hal itu tak membuat ketiga mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi UGM merutuk dan tak melakukan apapun.
Adalah Tia Noor Larasati, Fahira Meutia Rahmadini, dan I Dewa Ayu Diah Purwaningrum yang hendak dibicarakan dalam tulisan ini. Sesaat setelah dikeluarkannya keputusan mengenai kuliah daring oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, mereka berinisiatif untuk lebih memanfaatkan waktu. Tak ayal, pada 28 Maret lalu, ketiganya berhasil meraih juara pertama untuk kategori Public Relation dalam Kompetisi Komunikasi Fiesta yang diselenggarakan oleh Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Kompetisi tersebut dilaksanakan secara daring.
Beberapa hari lalu, dengan Tia, kami berkesempatan mengobrolkan pengalaman ‘Tim Kalis”—begitu ketiga orang itu menamai diri mereka sendiri—sewaktu mengikuti kompetisi itu. Obrolan juga dilaksanakan secara daring.
Bagaimana awal mula kalian memutuskan untuk membuat tim dan mengikuti kompetisi itu?
Tim ini sudah terbentuk dari kompetisi yang sebelumnya telah kami ikuti. Dengan tim yang sama, kami sering mengikuti kompetisi yang diadakan oleh berbagai universitas. Kebetulan, tahun ini Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mengadakan KOMFIEST. Kami belum pernah berpartisipasi dalam kompetisi tersebut. Akhirnya, kami memutuskan untuk ikut. Ini juga dilakukan mumpung masih di semester terakhir sebelum akhirnya KKN dan mengejar skripsi.
Sejak pertengahan Maret, karena Covid-19, kita diimbau untuk tidak keluar rumah. Bagaimana cara kalian berdiskusi dan brainstorming di tengah situasi seperti ini?
Sebelum pemerintah mulai mengimbau untuk melakukan segala kegiatan dari rumah, kami masih sempat bertemu langsung dan berdiskusi. Brief pertama kompetisi sudah ada sebelum masa pandemi, sehingga kami masih sering ketemu. Namun, setelah brief kedua muncul dan Covid-19 mulai merebak, kami biasa berkumpul di rumah saya (Tia) atau Fahira yang pada waktu itu masih dalam kondisi aman dan berada di sekitar Yogyakarta. Pada waktu itu, dalam proses diskusi dan pengerjaan, kami tetap melakukan social distancing dengan tetap menjaga jarak dan menjaga kebersihan. Kami sering sekali cuci tangan dan memakai hand-sanitizer (tertawa).
Setelah pandemi Covid-19 merebak, bagaimana perubahan sistematika kompetisi yang diputuskan oleh panitia?
Banyak sekali. Pada keputusan awal sebelum Covid-19 merebak, kami harus ke Surabaya untuk mengikuti babak final. Karena kondisi tidak memungkinkan, panitia kompetisi mengeluarkan brief kedua yang dikerjakan secara daring sebagai ganti babak final. Penjurian juga dilakukan secara online. Talkshow yang seharusnya berlangsung juga harus batal.
Apa tantangan yang paling kalian rasakan untuk mengikuti kompetisi di kondisi seperti sekarang?
Di awal, kami cukup bingung untuk tetap lanjut atau tidak. Keputusan panitia untuk menyelenggarakan kompetisi secara online sangat telat. Kami terlanjur mempersiapkan keberangkatan untuk mengikuti babak final di Surabaya. Brief kedua yang diberikan oleh panitia juga cukup membingungkan. Selain itu, sepanjang proses diskusi dan brainstorming, kami harus meminimalisir pertemuan secara fisik. Jika memang harus bertemu, kami memilih tempat yang aman dan menghindari cafe atau keramaian.
Di kompetisi kemarin, karya apa yang kalian angkat? Apa pesannya?
Pada babak penyisihan, kami mengangkat isu pelanggaran hak privasi. Kami bertiga sepakat mengangkat tema pornografi balas dendam atau revenge porn karena itu adalah fenomena pelik yang terjadi di masyarakat digital. Dengan mengusung kampanye “Jadi Lebih Kuat”, kami ingin merangkul penyintas dengan pesan “Yang terjadi kemarin bukan salahmu, tapi bahagia adalah tanggung jawabmu”.
Kemudian, tantangan babak final mendorong kami untuk membuat sebuah newsletter bertema Body Dysmorphic Disorder (BDD). Masih dengan tajuk kampanye “Jadi Lebih Kuat”, kami membawa pesan kepada penyintas BDD bahwa tubuh mereka indah tanpa harus diubah. Pada newsletter itu, kami mengusung pesan “Sekarang cukup, ayo nikmati hidup”. (/Snr)