Di tengah-tengah masa Pandemi Covid-19, enam mahasiswa FISIPOL UGM berhasil meraih kejuaraan nasional dalam Administration Fair 2020. Juara I diraih oleh Izul Fikri Amal, Ardi Muhammad Rifqi, dan Brilian Priatmaja. Sedangkan Juara Harapan I diraih oleh Alifandi Tranggono, Abdul Qoyyum, dan Bhram Kusuma. Keenamnya merupakan mahasiswa Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM.
Sebelumnya, kegiatan yang diadakan oleh Humanis Fisip Universitas Hassanudin (Unhas) tersebut sempat terhambat karena adanya kebijakan physical distancing di tengah-tengah masa Pandemi Covid-19 ini. Lima belas besar tim lolos seleksi paper yang akan mengikuti rangkaian kegiatan harus dibatalkan. Pasalnya, seluruh rangkaian kegiatan yang seharusnya diadakan di Makassar terpaksa dilanjutkan melalui daring. “Salah satu motivasi kelompok kami ikut lomba karena pengen jalan-jalan ke Makassar, tapi ya mau gimana lagi, manusia cuma bisa berencana,” tutur Bhram mengungkapkan kekecewaannya. Dengan begitu, panitia akhirnya memutuskan untuk mengadakan Konferensi Nasional dan Focuss Grup Discussion (FGD) secara virtual.
Meskipun melalui daring, mereka menyampaikan kesenangannya dapat turut aktif dalam FGD yang menjadi rangkaian kegiatannya. “Seneng banget karena moderator FGD yang berasal dari lembaga studi kebijakan seperti mentor,” tutur Izul. Hal senada diungkapkan oleh Bhram, menurutnya, meskipun diadakan melalui daring, namun FGD tersebut dapat membuka wawasan dan juga mengetahui batasan wawasan yang telah mereka miliki. “Kita bisa tahu gimana mahasiswa dari berbagai kampus lain memandang suatu isu tentu dari perspektif mereka masing-masing,” lanjut Bhram.
Administration Fair 2020 yang merupakan acara tahunan Humanis Fisip Unhas tersebut mengangkat tema “Ruang Estetika dalam Euforia Ilmiah” dengan beberapa subtema. Memilih tema Inovasi Pemuda dalam Mendukung Konsep “New Public Service di Era Digital”, kelompok Izul mengangkat sebuah platform “The Netijen” dengan konsep pendekatan penta-helix management. Kelima stakeholder yang dibahas dalam penta-helix management tersebut meliputi pemerintah, akademisi, pendamping, komunitas, dan juga korporasi. Berdasarkan analisis mereka, dalam perumusan kebijakan platform tersebut lebih terlegitimasi secara vertikal dan horisontal. “Pelibatannya pun tidak hanya dalam proses perumusan kebijakan, tapi sampai pada evaluasi kebijakan juga,” imbuhnya.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Izul, bahwa platform tersebut juga dapat menopang tiga poin penting dalam New Public Service, atau konsep Pelayanan Publik Baru. Pertama, Citizen Based Service yaitu menjadikan citizen bukan hanya sebagai klien tapi juga aktor kebijakan itu sendiri. Kedua, yaitu demokrasi, dimana pelibatan lima stakeholder dapat menciptakan sebuah ruang publik, shared vision, dan dialog argumentasi. Selain itu juga dapat mendorong keterbukaan informasi sehingga dimungkinkan berdampak pada meningkatnya trust atau kepercayaan dari publik. Ketiga, yaitu poin kolaborasi, bahwa service provider di era sekarang bukan hanya pemerintah, namun juga bisa private, maupun civil society. “Jadi pemerintah harus mampu merangkul mereka dan menciptakan sebuah pengelolaan collaborative governance untuk mengelola masyarakat yang semakin kompleks,” tegas Izul mengakhiri penjelasannya. Pada akhirnya, paper berjudul “Platform ‘The Netijen’ Sebagai Bentuk Virtual Public Sphere dengan Konsep Penta-helix Stakeholders Management” inilah yang berhasil menyabet Juara I dalam lomba paper Administration Fair 2020.
Sedangkan, kelompok Alifandi dengan subtema yang sama mengajukan paper berjudul “Info Cegatan Jogja: Digital Citizenship Ala Masyarakat Jogja Perekat Kearifan Lokal”. Dalam analisisnya, mereka mengangkat komunitas Info Cegatan Jogja sebagai bentuk volunteerism dengan perspektif kearifan lokal yang diangkat melalui dua sisi. Pertama, karena ICJ lahir di suatu masyarakat lokal. Kedua, ICJ lahir didasari semangat kearifan lokal yaitu gotong royong dan saling membantu. “ICJ juga memperkuat kearifan lokal tersebut di tengah era masyarakat global yang salah satu karakterisiknya bersifat individualis,” terang Qoyyum.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Qoyyum, bahwa bentuk NPS yang dilakukan pemerintah yaitu dengan “memberi” ruang bagi publik (dengan membiarkan kehadiran ICJ) sebagai media bagi masyarakat untuk saling membantu dan bertukar informasi. Selain itu platform ICJ yang “social media based” membuktikan peran pemuda didalamnya, baik dari penginisiasi maupun interaksi di dalamnya yang didominasi oleh pemuda. “Selain itu sebagai konsep digital citizenship yang menjelaskan media sosial sebagai ruang publik,” imbuhnya. Akhirnya, melalui paper tersebut, kelompok Alifandi meraih Juara Harapan I dalam kejuaraan yang sama. Dengan kedua perolehan tersebut, tentu menjadi kebanggan bagi FISIPOL UGM, karena semangat untuk terus berprestasi dan membawa nama baik kampus FISIPOL menjadi hal yang penting untuk dipertahankan. (/Ann)