Yogyakarta, 17 Agustus 2020‒Fisipol UGM meluncurkan buku “New Normal: Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Pasca COVID-19”. Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto, memberi sambutan di acara peluncuran buku ini. Fisipol UGM juga mengundang Deputy Executive Director of CSIS, Medelina Hendytio; Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Bappenas, Velix Wanggai; dan Deputi Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardhani sebagai penanggap. Dosen Fisipol UGM, Treviliana Eka Putri, memoderatori acara yang diselenggarakan melalui platform Zoom dan disiarkan di kanal Youtube Fisipol UGM ini.
Erwan menjelaskan, buku yang ditulis oleh 24 akademisi ini merupakan kelanjutan dari buku pertama berjudul “Tata Kelola Pengelolaan COVID-19 di Indonesia” yang diluncurkan pada Hari Pendidikan Nasional, bulan Mei lalu. Menurut Erwan, buku ini merupakan persembahan Fisipol UGM di hari ulang tahun Indonesia ke-75. “Buku kedua ini mencoba membahas berbagai respon pemerintah dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi dan sosial setelah berbagai negara mulai menerapkan kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru,” tutur Erwan.
Penyunting atau editor buku ini, Poppy S. Winanti dan Wawan Masúdi, menjelaskan sistematika buku serta refleksi gagasan yang menyatukan keseluruhan bab. Poppy mengatakan, terlepas dari pendahuluan dan penutup, buku ini terbagi menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari empat bab. Pertama, perdebatan perspektif new normal. Kedua, new normal dan pengelolaan sektor publik. Ketiga, new normal di sektor ekonomi. Keempat, penerimaan sosial new normal. Poppy menjelaskan, bagian pertama membahas perdebatan mengenai diskursus new normal. Sedangkan, kata Poppy, bagian kedua buku ini berisi lebih banyak membahas mengenai implementasi new normal terhadap pengelolaan sektor publik. Poppy menambahkan, bagian ketiga fokus membahas dampak new normal di sektor ekonomi. “Bagian terakhir buku ini mencoba mendiskusikan penerimaan sosial dari normal baru, yakni respons masyarakat sipil dan implikasi new normal terhadap kelompok marjinal, khususnya kaum perempuan,” jelas Poppy.
Selanjutnya, Wawan menjelaskan “benang merah” dari keseluruhan tulisan di dalam buku yang terdiri dari 18 bab ini. Temuan yang menyatukan gagasan di setiap babnya ialah konsep New Normal yang dilihat dari aspek jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Wawan, dari sisi jangka pendek, perubahan-perubahan bersifat sementara dilakukan untuk mencegah penyakit. Sedangkan di sisi perubahan jangka panjang, kata Wawan, pandemi COVID-19 mendorong perubahan secara fundamental yang ia sebut sebagai 9/11 moment. Meski konsep tersebut muncul atas tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat, Wawan mengatakan temuan dari penelitian di dalam buku ini juga menunjukkan dampak serupa akibat pandemi COVID-19. “Perubahan mendasar dalam konteks pandemi COVID-19, misalnya mulai dari basis kepemilikan akses digital yang menyebabkan relasi kuasa baru, hingga sejumlah praktik dalam aspek pelayanan publik, ekonomi, maupun hubungan antarindividu,” jelas Wawan.
Beberapa penulis juga menjelaskan isi tulisannya. Hamdi Muluk menjelaskan kajiannya mengenai perubahan perilaku masyarakat dari kaca mata psikososial. Lalu, Kuskrido Ambardi menerangkan dampak pandemi COVID-19 terhadap aspek fairness atau jujur dan adil dalam penyelenggaraan pemilu. Kemudian, Serli Wijaya menyampaikan argumen tulisannya tentang masa pandemi COVID-19 sebagai momentun perubahan kualitas layanan di industri jasa hospitality yang lebih hijau dan berkelanjutan. Lalu, Jonatan Lassa juga menjelaskan fenomena kegagapan birokrasi di daerah, khususnya di Nusa Tenggara Timur. Terakhir, Abdul Gaffar menyampaikan temuannya mengenai ibadah keagamaan di masa pandemi COVID-19. “Tidak terdeteksi adanya perbincangan yang reflektif di masyarakat, sehingga tidak akan ada perubahan yang mendasar mengenai kerumunan keberagamaan pasca pandemi,” kata Gaffar.
Ketika sesi tanggapan atas buku ini, ketiga penanggap mengapresiasi penerbitan buku ini dan menganggap isi buku sebagai pengetahuan dasar yang berguna untuk merumuskan kebijakan pemerintah. Medelina mengatakan, orientasi penulisan buku ini mestinya untuk mengadvokasi kebijakan dan memberi saran kepada pemerintah supaya memperkuat resiliensi masyarakat, ketahanan ekonomi, maupun kesehatan. Kemudian, Jaleswari dan Velix mengaitkan isi buku dengan hal-hal yang sedang dilakukan pemerintah. Menurut Jaleswari, buku ini berfungsi untuk mengingatkan, memandu, dan memberi peta jalan solusi cara mengenali krisis akibat pandemi, serta memberi persiapan dan koreksi yang perlu dilakukan pemerintah. Sedangkan Velix menyebut, “benang merah” buku ini sudah sangat utuh sebagai scientific base policy. “Pemerintah sedang merumuskan reformasi sosial di tahun 2021, oleh karena itu kami mengajak para ahli dari Fisipol UGM untuk mendiskusikan policy reform terkait ketahanan pangan, sistem kesehatan nasional, dan sistem perlindungan sosial” tutur Velix. (/NIF)