Kuliah Kerja Nyata Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) UGM Periode 2 tahun 2020 sudah memasuki minggu terakhir. Berbeda dari sebelumnya, KKN kali ini dilaksanakan secara daring karena pandemi COVID-19. Selama tujuh minggu terhitung sejak 29 Juni hingga 18 Agustus 2020, mahasiswa setidaknya harus melakukan kegiatan pengabdian dengan jumlah jam kerja efektif paling sedikit 288 jam. Hal ini diatur dalam Keputusan Rektor Nomor 96/UN1.0/KPT/HUKOR/2020 Tentang Penyelenggaraan KKN-PPM UGM 2020.
Untuk mengikuti KKN, mahasiswa yang sudah memenuhi kriteria perlu membentuk tim secara mandiri atau mendaftar dan ditentukan oleh Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPkM). Kali ini, sebanyak 4.504 mahasiswa program sarjana dan sarjana terapan di UGM melakukan KKN daring, tak terkecuali yang berasal dari Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol). Lebih dari 400 mahasiswa Fisipol melakukan pengabdian secara virtual di desa yang berada di wilayah K1 yaitu sekitar DI Yogyakarta dan K2 yang berada di luar DI Yogyakarta.
Media Fisipol berkesempatan merekam cerita mengenai program kerja dan keluhan mahasiswa Fisipol selama KKN daring. Hanif Janitra, mahasiswa Departemen Hubungan Internasional adalah salah satu mahasiswa Fisipol yang melakukan KKN di lokasi K2. Sejak sebelum pandemi, Hanif dan tim memang mengusulkan lokasi KKN di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi lokasi KKN daring hingga saat ini.
Bersama lima orang lain dari Fisipol, Hanif menyusun program kerja berdasar tema yang telah diusulkan oleh tim. Beberapa program kerja yang dilakukan Hanif adalah pembuatan konten digital mengenai mitigasi bencana, webinar tentang kesehatan di masa pandemi serta pembuatan buku panduan pariwisata. Hal ini tidak terlepas dari tema Tim KKN Tanjung yang berkisar pada penguatan desa pascabencana, peningkatan nilai jual Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan peta risiko bencana.
Selain lokasi K2, mahasiswa Fisipol juga tersebar dan melakukan KKN daring di wilayah K1 dengan tema berbeda-beda. Salah satu di antaranya adalah Muhammad Aqil Qurtuby dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Aqil bersama dengan tim melakukan KKN di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Aqil menceritakan tim ini didapatnya dari penentuan yang dilakukan DPKM.
Tema KKN yang diangkat oleh Aqil dan tim yaitu mengenai validasi data Keluarga Berencana di desa sekitar lokasi KKN. Berangkat dari tema itu, program kerja Aqil adalah: sosialisasi pemuda ramah gender, sosialisasi pola hidup bersih selama pandemi, sosialisasi pola hidup sehat untuk keluarga sejahtera, sosialisasi penggunaan internet dengan bijak, dan edukasi mengenai nikah muda. Hasil kelima program ini akan disosialisasikan oleh Aqil secara daring melalui grup WhatsApp kepada pemuda dan masyarakat di dusun setempat.
Berbeda dari Aqil dan Hanif, Cahya Malikal mahasiswa Departemen Sosiologi merupakan anggota tim yang mulanya berlokasi di K2 kemudian dipindahkan ke lokasi K1. Pemindahan ini dilakukan karena lokasi KKN semula tidak dapat melakukan KKN secara daring. Maka dari itu, lokasi KKN Cahya dan tim dipindah ke Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Pemindahan lokasi ini mengakibatkan berubahnya tema menjadi “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kesehatan dan Lingkungan selama pandemi COVID-19”. Beberapa program kerja Cahya adalah panduan optimalisasi belajar selama pandemi, sosialisasi terkait anjuran yang baik digunakan selama fase kenormalan baru, serta kompilasi program anggota unit mengenai kenormalan baru.
Sistem daring untuk yang pertama dikenalkan pada tahun ini memberi kesulitan yang cukup berbeda dari sistem sebelumnya. Aqil menceritakan kesulitan jaringan sinyal masih menjadi permasalahan utama. Dari dua desa lokasi KKN Aqil, satu desa mengalami kesulitan sinyal. Tidak hanya itu, Aqil juga mengaku bahwa banyak pihak masyarakat yang tidak menghendaki adanya kkn secara daring.
Mengamini Aqil, Hanif mengungkapkan sifat dari kkn daring sulit diterima secara positif oleh masyarakat. Tidak hanya itu, Hanif juga mengaku awalnya mengalami kesulitan berkoordinasi dengan pihak desa, sehingga meminta bantuan dari stakeholder lain. Sementara itu, Cahya mengeluhkan mengenai ketiadaan basis data dan kesulitan mengambil data secara daring untuk menyusun program kerja, misalnya data mengenai UMKM. “Ketika kita melakukan pengambilan data secara daring, kebanyakan masyarakat belum beradaptasi dengan media daring sehingga membuat pencarian datanya terhambat,” ungkap Cahya. (/anf)