“Urgensi sekarang, kita sedang melakukan percepatan transformasi digital karena terjadi pandemi,” tutur Semuel A. Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia (30/7). Sayangnya, beberapa survei menunjukkan bahwa literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah. Pemerintah melalui Kominfo sedang berupaya melakukan literasi digital kepada masyarakat agar siap menghadapi era transformasi digital.
Kominfo menargetkan 50 juta masyarakat Indonesia terliterasi pada tahun 2024. Sejak tahun 2020, Kominfo berupaya untuk dapat meliterasi 12,5 juta orang tiap tahun melalui gerakan agen perubahan. Semuel juga menjelaskan,strategi meliterasi kelompok masyarakat tertentu perlu dilakukan dengan pendekatan budaya dan daerah, karena tidak semua masyarakat bisa terliterasi hanya dengan membaca. Menurutnya, kurikulum literasi digital harus terus berkembang. “Kita perlu terus mengingatkan orang lain tentang literasi digital, namun dengan cara yang tidak terkesan menggurui,” pesan Semuel.
“Status literasi digital di Indonesia pada tahun 2020 masih pada level moderat atau sedang. Ini mengkhawatirkan,” tutur Zainuddin Muda Z. Monggilo, dosen Dikom UGM sekaligus pegiat di Jaringan Pegiat Literasi Digital. Menurut dosen yang akrab dipanggil Zam ini, penggunaan media digital harus diarahkan pada penggunaan yang lebih bertanggung jawab. Pasalnya, ada banyak konten negatif di media digital, namun kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis masih rendah. Ia menjelaskan, pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat belum diimbangi dengan literasi digital. Menurut Zam, apabila masyarakat tidak terus belajar atau berkolaborasi, maka status literasi digital di Indonesia bisa semakin menurun.
Zam menyebutkan sejumlah indikator seseorang cakap bermedia digital. Pertama, memiliki pengetahuan tentang perangkat keras dan perangkat lunak. Kedua, mampu memanfaatkan search engine (mesin terusur) untuk menangkal informasi yang menyesatkan. Ketiga, mengetahui tentang beragam aplikasi chat dan media sosial. Keempat, memiliki pengetahuan dasar tentang beragam aplikasi dompet digital dan e-commerce untuk menunjang kebutuhan dalam bertransaksi secara digital. “Pada era digital saat ini, kita tidak hanya dapat menerima informasi yang penting dan bermanfaat, tetapi juga informasi yang menyesatkan atau bahkan membahayakan, mulai dari misinformasi, disinformasi, dan malinformasi atau yang kita kenal sebagai hoaks,” jelas Zam.
Bahaya dan cara menangkal hoaks dijelaskan oleh Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Hoaks, menurut Septiaji, dapat mengubah perilaku seseorang hingga membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Pada era pandemi ini, hoaks kesehatan semakin banyak dan diperparah dengan polarisasi masyarakat. “Hoaks kesehatan, kalau sudah terlanjur dipercaya masyarakat, dampaknya bisa sangat merusak,” kata Septiaji. Untuk terhindar dari hoaks, Septiaji mengingatkan agar setiap orang mengubah cara membaca informasi di media digital dengan selalu melakukan verifikasi atau pemeriksaan fakta melalui sumber-sumber terpercaya. Selain itu, masyarakat perlu meminimalisir bias konfirmasi di dalam diri masing-masing agar tidak mudah menerima atau menolak informasi hanya berdasarkan kesukaan atau kebencian pribadi.
“Tahan diri untuk membagikan informasi yang belum kita yakini seratus persen,” pesan Noudhy Valdryno, Politics and Government Outreach Manager Indonesia and APAC di Facebook. Menurut Noudhy, masyarakat perlu menambah sumber referensi untuk melakukan verifikasi informasi di masa pandemi. Ia menjelaskan, Facebook sebagai platform media sosial telah melakukan sejumlah kolaborasi terkait penanganan konten sebagai upaya mempercepat menyebarkan informasi yang terverifikasi. Menurutnya, tidak ada informasi absolut pada masa pandemi, sehingga masyarakat perlu menahan diri untuk membagikan informasi serta membantu mengurangi penyebaran hoaks dengan melaporkan berita-berita palsu yang mungkin dijumpai di media sosial. (/NIF)