Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) FISIPOL UGM mengadakan Podium Terbuka Komap bertajuk “KM UGM Mau Dibawa Ke Mana?” pada Jumat (12/10). Acara yang berlangsung melalui Zoom Meeting ini menghadirkan tujuh tim perwakilan partai mahasiswa. Di antaranya adalah Partai Kampus Biru, Partai Boulevard, Partai Srikandi, Future Leaders Party, Partai Sayang Mama, Partai Gotong Royong, dan Partai Bunderan. Mahardika, Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan, memimpin dan memandu jalannya acara.
Podium Terbuka Komap dilatarbelakangi oleh konfigurasi politik kampus UGM yang belakangan ini tengah bergejolak khususnya pada tahun 2021. Gejolak tersebut muncul karena kebijakan student government UGM yang menuai kritik di kalangan mahasiswa. Di antaranya adalah tindakan BEM KM UGM yang mengundang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sebagai narasumber ketika konflik agraria di Jawa Tengah sedang memanas.
“Dalam acara tersebut, pembahasan terkait konflik agraria terkhusus di daerah Wadas nihil dibicarakan sehingga menjadi polemik antar-mahasiswa KM UGM,” ucap Mahardhika.
Di lain kesempatan, BEM KM juga mengikuti pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Luhut Binsar Panjaitan. Pertemuan itu memicu perdebatan akibat miskoordinasi dengan KM UGM. Selain itu, struktur kepengurusan internal KM UGM juga menuai banyak kritik, salah satunya adalah melanggar Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Tata Laksana Organisasi Kemahasiswaan UGM pasal 14 ayat 2 yang menyebutkan bahwa mahasiswa tidak boleh menjabat ketika sudah lulus sidang. Namun, pihak BEM KM mengatakan bahwa hal tersebut dalam AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) diperbolehkan.
Kontroversi oleh BEM KM tersebut memantik ketidakpercayaan lembaga fakultas di UGM yang tergabung dalam koalisi reformasi KM UGM dan menuai banyak narasi publik soal pembubaran entitas utama UGM, yaitu BEM KM dan MPM. Beberapa entitas mahasiswa juga menganggap student government tidak menjadi fungsi kontrol dan menuntut untuk dibubarkan.
“Sedikitnya ada empat tuntutan yang dilayangkan koalisi reformasi KM UGM, mulai dari penyesalan atas kebijakan kontraproduktif BEM KM, tuntutan pengakuan kesalahan dan permintaan maaf, penuntutan entitas BEM KM untuk mengadakan kongres luar biasa, hingga ajakan kepada seluruh mahasiswa UGM untuk terlibat dalam reformasi dan menciptakan KM UGM yang lebih demokratis,” tutur Mahardhika.
Dari beberapa polemik di atas, setiap tim perwakilan partai mahasiswa selaku instansi yang akan bertarung dalam pertarungan politik UGM, menyampaikan tanggapan dan kritik terhadap student government UGM. Selain itu, adapun mereka juga mendiskusikan beberapa alternatif kebijakan yang bisa ditawarkan untuk menggantikan student government. Salah satunya adalah topik yang dibicarakan merupakan permasalahan sistemik yang tidak hanya terjadi di UGM, melainkan universitas lain juga. Maka dari itu, BEM KM UGM perlu memperbaiki berbagai kekurangan dan jangan sampai kesalahan yang sama terulang kembali. (/Wfr)