Pada pertengahan Desember tahun lalu, dua mahasiswa FISIPOL UGM dari Departemen Ilmu Komunikasi—Hasya Nindita dan Fina Nailur Rohmah—berkesempatan mengikuti kompetisi yang diselenggarakan oleh ASEAN. Kompetisi tersebut bertajuk ASEANDSE (ASEAN Data Science Explorers). Sesuai dengan namanya, kompetisi ini berfokus pada usaha mengelola data secara efektif. ASEANDSE mempertemukan sepuluh tim mahasiswa terbaik dari seluruh Indonesia. Setiap tim terdiri dari dua orang boleh dari dua universitas yang berbeda. Hasya dan Fina, begitu sapaan mereka, merasa beruntung terpilih menjadi salah satunya.
Berselang waktu yang cukup lama, Sabtu (31/8/19) sore lalu, kami berkesempatan mewawancarai Fina. Dalam kesempatan yang tak menggambarkan situasi wawancara seperti pada umumnya sama sekali, sambil santai memakan sop daging sapi, Fina menceritakan pengalamannya. “Awalnya, saya dan Hasya tak punya gairah sama sekali untuk ikut kompetisi ini. Selain karena model kompetisi yang terlampau baru bagi kami, pada awalnya saya tak terlalu punya perhatian khusus terhadap data,” kata Fina.
Kalimat tersebut melebar pada obrolan soal kehidupan Fina secara personal. Dengan tampak berusaha meyakinkan dirinya sendiri, ia menyadari bahwa ternyata, ASEANDSE menjadi titik awal ketertarikannya terhadap data. Dalam skripsinya mendatang pun, Fina berencana meriset soal identitas digital, suatu bahasan yang kita tahu juga tak jauh-jauh dari data.
Sistematika kompetisi terhitung sederhana. Dua sahabat karib yang menyadari diri mereka akhirnya diakrabkan lewat ASEANDSE ini hanya diharuskan mengirimkan sepuluh slide power point. Menengarai isu yang cukup hangat pada saat itu, keduanya memilih angkat bicara soal kesetaraan gender. Terseleksi menjadi 10 finalis terbaik Se-Indonesia, Hasya dan Fina berangkat ke Jakarta dan mempresentasikan power point mereka di hadapan juri.
Dalam ASEANDSE ini, pihak ASEAN menggandeng SAP, sebuah software garapan perusahaan multinasional milik pebisnis Amerika Serikat, Bill McDermott. Dalam kompetisi, SAP digunakan sebagai software pendukung teknis pelaksanaan kompetisi. Kesempatan itu tentu menjadi kali pertama bagi Hasya dan Fina berkenalan dengan SAP. Keduanya pun menyadari bahwa ASEANDSE memang menjadi kendaraan promosi bagi produk milik Bill McDermott itu. Akan tetapi, sebagaimana semua finalis yang mengidamkan kemenangan dalam sebuah kompetisi, akal-akalan itu tak membikin keduanya ambil pusing.
Fina bercerita, dalam kompetisi kemarin, ia menerapkan pembagian kerja yang tak terlalu serius dengan Hasya. “Untuk sampai pada keputusan mengikuti ASEANDSE, saya memang terbujuk oleh ajakan Hasya.” kata Fina. Konsekuensinya, Hasya-lah yang menjadi pihak telaten mengurusi berbagai keperluan lomba secara teknis. Sementara itu, adalah Fina yang kebagian tugas untuk banyak bersentuhan dengan data itu sendiri.
ASEANDSE adalah kompetisi yang diselenggarakan secara tahunan oleh ASEAN. Peraih juara pertama akan terpilih mewakili Indonesia pada ajang ASEANDSE di tingkat internasional. Tahun 2018, pelaksanaan kompetisi internasional itu dilangsungkan di Singapura. Dengan kekecewaan yang menggantung, Fina berbesar hati mengakui bahwa ia dan Hasya telah gagal mewakili Indonesia. “Ditambah lagi, ekspektasi banyak orang yang telah repot-repot mengetahui kami sedang mengikuti kompetisi menempatkan kami pada beban personal tertentu,” tambahnya.
Meskipun keduanya gagal menggaet juara pertama, kita tahu bahwa kesempatan untuk berusaha dan berjuang, bagaimanapun layak dihargai dan—pada saat yang sama—dipandang dengan penuh rasa syukur. Hal itu tentu tak menjadi alasan yang berlebihan bagi Hasya dan Fina untuk kembali ke Jogja dengan hati yang lapang dan sadar bahwa keduanya telah banyak belajar. (/Snr)