Seorang pemikir dan pejuang telah pergi meninggalkan kita semua. Rabu 5 Agustus 2020, Cornelis Lay pulang menghadap Sang Pencipta. Kepergian Mas Cony, begitu panggilan akrab beliau, menyisakan duka bagi keluarga, rekan-rekan, dan murid-murid beliau. Semua kenangan tentang kebaikan dan pelajaran yang diberikan oleh Mas Cony mewujud dalam berbagai tulisan obituary yang tersebar luas baik di media massa maupun media sosial. Tulisan ini akan mencoba melengkapi tulisan obituari Mas Cony lainnya dengan mengambil sudut pandang hal-hal yang bisa ditiru oleh para pembaca (terutama mahasiswa FISIPOL UGM) dari Mas Cony baik sebagai intelektual maupun sebagai manusia.
Pertama, adalah soal keberanian yang terarah. Mas Cony adalah seorang pemberani tetapi bukan orang yang asal berani, keberanian beliau adalah keberanian yang diarahkan untuk membela nilai-nilai kemanusiaan dan pihak-pihak yang tertindas. Salah satu contoh keberanian terarah Mas Cony adalah cerita tentang skripsi beliau yang kemudian dibukukan dengan judul “Melawan Negara”. Dalam skripsinya tersebut, Mas Cony menulis tentang dinamika Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sejak dibentuk melalui fusi Partai Nasional Indonesia, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, dan IPKI pada tahun 1973 sampai dengan tahun 1986 (satu tahun menjelang pemilihan umum 1987). Menulis skripsi tersebut jelas adalah langkah berani mengingat PDI adalah partai oposisi yang sering dizalimi dan dicurangi oleh rezim otoriter Orde Baru. Mas Cony sadar betul bahwa kalau bukan dirinya yang menulis skripsi tersebut lalu siapa lagi yang mau menulis tentang partai politik yang termarjinalkan di era Orde Baru tersebut?
Kedua, berkomitmen dengan pilihan hidupnya. Mas Cony memilih hidup sebagai seorang akademisi, ilmuwan, dan pendidik. Mas Cony selalu berkomitmen dengan pilihannya tersebut sejak menjadi dosen muda di FISIPOL UGM sampai akhir hayatnya. Berbagai kesibukannya di luar kampus seperti ketika membantu Megawati Sukarnoputri semasa Mbak Ega (panggilan akrab dari Mas Cony untuk Bu Mega) menjadi Wakil Presiden, sakit yang beberapa tahun terakhir menyerang dirinya pun tak pernah menjadikannya malas untuk mendidik mahasiswa dan mahasiswinya, bukti bahwa Mas Cony selalu menyempatkan diri untuk mengajar. Bagi Mas Cony, para mahasiswa harus mendapat pelayanan terbaik dari para dosen. Para mahasiswa dan orang tua mereka sudah menginvestasikan tenaga, waktu, serta biaya yang seringkali tidak sedikit untuk bisa berkuliah, maka tidak selayaknya para dosen menggampangkan urusan mengajar para mahasiswa tersebut.
Ketiga, teguh dalam prinsip ideologis dan inklusif dalam pergaulan. Semua orang yang pernah berhubungan dengan Mas Cony pasti tahu bahwa beliau adalah seorang nasionalis-pancasilais sejati yang sangat kagum dengan Bung Karno sebagai Bapak Bangsa sekaligus penggali Pancasila. Keteguhan prinsip ideologisnya dapat dilihat dari aktivismenya di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Hal ini dilakoni Mas Cony sejak mahasiswa sampai menjadi mentor bagi generasi penerus GMNI setelah beliau menjadi dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM. Tetapi jangan dikira karena keteguhan ideologisnya tersebut, Mas Cony menjadi seorang fanatik yang pergaulannya eksklusif. Justru karena beliau paham betul intisari Pancasila adalah gotong royong maka beliau bergaul dengan semua kalangan dari berbagai latar belakang. Mas Cony sangat paham bahwa merawat Indonesia hanya bisa dilakukan dengan cara gotong royong, dan gotong royong tidak bisa dilakukan sendirian. Intisari nilai-nilai Pancasila terwujud dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan Mas Cony sehingga beliau sering disebut sebagai “Guru Bangsa”.
Keempat, menerapkan ilmu pengetahuan untuk nasionalisme yang inovatif. Mas Cony dikenal sebagai akademisi dan ilmuwan politik yang brilian. Di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM beliau termasuk dosen yang mempelopori dan menyemangati koleganya untuk menulis di jurnal ilmiah dan publikasi internasional lainnya. Hal tersebut bisa dibaca sebagai bentuk nasionalisme yang inovatif, Mas Cony ingin menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bisa berpikir dan memproduksi pengetahuan di bidang Ilmu Sosial-Politik dengan kualitas yang sama dengan bangsa-bangsa yang selama ini mendominasi dan menghegemoni dunia ilmu pengetahuan di tingkat global. Inovasi penerapan ilmu pengetahuan juga ditunjukan Mas Cony dengan mempelopori kajian tentang perbatasan di lingkup DPP dan FISIPOL UGM. Bagi Mas Cony (yang berasal dari Nusa Tenggara Timur), Indonesia adalah negeri lautan luas yang ditaburi pulau-pulau. Konsekuensinya adalah ketika kita berpikir, berbicara, meneliti, dan menulis tentang Indonesia kita tidak selayaknya hanya membahas tentang Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kita harusnya juga membahas secara mendalam tentang daerah-daerah perbatasan di Indonesia yang sudah sekian lama jarang merasakan kehadiran negara, karena imaji tentang Indonesia yang bhineka, bersatu, dan berorientasi pada keadilan sosial harus ada di benak seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, memperlakukan kekuasaan sebagai alat perjuangan kemanusiaan bukan sebagai tujuan. Dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang berjudul Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan Dan Kemanusiaan yang dibacakan tanggal 6 Februari 2019, Mas Cony menyatakan bahwa para intelektual di Indonesia seolah-olah terjebak dalam persimpangan dua jalan yang saling meniadakan, pilihan untuk mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan atau sebaliknya menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan. Mas Cony tidak sepakat dengan dikotomi yang menurutnya tidak bermanfaat tersebut. Menurut Mas Cony, kekuasaan harus dipandang sebagai hal yang normal, bukan sebagai sesuatu yang harus diagung-agungkan, dicari, dan dipertahankan dengan segala cara atau terus-menerus dibenci dan dimusuhi. Selain itu, bagi Mas Cony, kekuasaan harus dimaknai sebagai alat perjuangan kemanusiaan bukan sebagai tujuan sehingga Mas Cony menawarkan “Jalan Ketiga” yaitu suatu pemikiran bahwa intelektual bebas untuk masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya. Tentu saja untuk mencapai “Jalan Ketiga” tersebut perlu kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik yang harus dilatih terus dan tidak bisa didapatkan secara instan.
Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan bahwa salah satu putra terbaik Universitas Gadjah Mada dari timur Indonesia telah pergi meninggalkan kita semua. Tapi kita juga harus ingat bahwa yang fana adalah fisik Mas Cony, sedangkan pikiran dan perjuangannya abadi. Selamat jalan Bung, Anda sudah merdeka baik sebagai intelektual maupun sebagai manusia.
Penulis: Dendy Raditya