Sekumpulan laki-laki hobi menonton film. Setiap melihat seruntutan adegan, mereka memperhatikannya secara teliti, dan kadang-kadang berpikir untuk menirunya dalam kehidupan nyata. Dalam menjalani kegiatan sehari-hari, mereka mengharuskan diri untuk melakukan gerak-gerik yang efektif, baik dalam keadaan genting maupun tidak. Obsesi semacam itu terus berlangsung dan cukup mengganggu kehidupan mereka.
Hal semacam itulah yang dihadapi oleh 3Tiga Films (selanjutnya disebut 3Tiga). Mereka adalah Damar Jalu Purboyo, Agustinus Wibi Arya, dan Selando Naendra Radicka. Ketiganya merupakan mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM angkatan 2017. “3Tiga” muncul tiba-tiba dalam benak mereka dan menjadi nama komunitas film yang mereka buat. Pada bulan Oktober tahun 2018 lalu, 3Tiga memenangkan kompetisi film pendek bertajuk “Kinema” yang diselenggarakan oleh UPN Veteran Yogyakarta.
Dalam kompetisi tersebut, 3Tiga Film keluar sebagai juara pertama lewat film pendek berjudul “Tempuran Kulon”. Film tersebut diperankan oleh Anindya Ayu—biasa dipanggil Anin, mahasiswi yang juga berasal dari Departemen Ilmu Komunikasi. Dalam film, Anin memerankan Laely, seorang wanita yang rela menjadi pelacur untuk menghidupi keluarganya. Jumat lalu, kami berkesempatan mengobrol dengan Damar (Director of Photography) dan Selando (penulis dan sutradara) di film tersebut.
Tempuran Kulon bercerita soal praktik pelacuran yang bertempat di pinggiran rel kereta api, kehidupan marginal masyarakat Yogyakarta yang tidak jamak diketahui orang, bahkan oleh warga asli Jogja sendiri. Cerita film terinspirasi dari obrolan Selando dan Wibi tentang keberadaan Bong Suwung, sebuah tempat pelacuran yang berada di sepanjang rel dekat Stasiun Tugu.
Kepada Selando, Wibi bercerita bahwa transaksi antara “pelanggan” dan pekerja seks di Bong Suwung selalu berlangsung bersamaan dengan kereta api yang sesekali lewat. Bising, kumuh, dan kotor, hal itulah yang tergambar di benak Selando setelah mendengar cerita Wibi. Berawal dari situ, bersama teman-temannya, ia bertekad untuk menceritakan kebisingan, kekumuhan, dan kekotoran yang ia bayangkan lewat film. “Kami keranjingan bercerita. Sementara untuk bercerita ke banyak orang, kami tak punya kemampuan apa-apa selain menyatukan kumpulan gambar, suara, dan adegan yang memang sengaja kami buat-buat. Dan seperti itulah film,” terang Selando.
Berdasarkan cerita Selando, proses shooting Tempuran Kulon berlangsung selama 4 hari, durasi yang sebenarnya tak masuk akal untuk ukuran film pendek. Lamanya proses shooting dilatarbelakangi oleh keterbasan sumber daya dan kemampuan teknis tim 3Tiga yang masih minim. “Kami belum pernah membuat film sebelumnya. Sewaktu shooting kemarin, kami juga salah mengambil langkah karena memilih tempat shooting yang berjauhan. Gunungkidul dan Stasiun Lempuyangan,” tutur Selando. Hal itulah yang menyebabkan proses shooting Tempuran Kulon tergolong lama.
Bercerita lewat film, adalah pilihan yang acapkali tak diambil oleh mahasiswa Fisipol UGM, bahkan bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi. Kelas-kelas perkuliahan menjejali mereka dengan teori-teori politik dan media. Sementara kemampuan teknis dalam membuat film kurang mendapat perhatian. Berawal dari Tempuran Kulon, Damar dan Selando berterus terang bahwa mereka—dan 3Tiga—ingin terus bercerita. “Kami banyak cakap, tapi tak cukup punya kemampuan verbal yang baik. Kalau sudah begitu, hal apalagi yang lebih tepat kita lakukan selain terus membikin film?” tutur Damar menutup obrolan, bertanya kepada dirinya sendiri. (/Snr)